Mohon tunggu...
Dwi Ardian
Dwi Ardian Mohon Tunggu... Paccarita

ASN | Statistisi | Analis Sosial Ekonomi dan Kependudukan | To Mandar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rokok dan Kemiskinan

24 Juli 2025   12:00 Diperbarui: 24 Juli 2025   08:49 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rokok memiliki peran yang cukup besar terhadap kemiskinan di Indonesia. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), rokok selalu menjadi penyumbang kedua terbesar terhadap kemiskinan setelah beras. Fakta ini menunjukkan betapa konsumsi rokok telah menjadi beban ekonomi yang signifikan bagi rumah tangga, terutama bagi keluarga miskin. Padahal, rokok sama sekali tidak memberikan nilai gizi atau manfaat kesehatan, melainkan justru memperburuk kondisi finansial dan kesejahteraan masyarakat.

Saya yang biasa menjadi petugas survei, mengamati di lapangan, banyak rumah tangga miskin yang lebih memilih mengurangi konsumsi makanan bergizi daripada berhenti merokok. Padahal, menurut standar garis kemiskinan makanan, setiap anggota rumah tangga minimal membutuhkan asupan 2.100 kilokalori (kkal) per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar gizi. Namun, rokok yang harganya mahal tidak memberikan kalori sama sekali (nol kalori). Artinya, uang yang seharusnya digunakan untuk membeli makanan bergizi justru dihabiskan untuk membeli rokok, suatu kebiasaan yang kontraproduktif bagi kesehatan dan ekonomi keluarga.

Yang lebih memprihatinkan, harga rokok terus mengalami kenaikan setiap tahun, tetapi hal ini tidak mengurangi minat masyarakat untuk membelinya. Bahkan, pengaruh rokok terhadap kemiskinan lebih besar dibandingkan komoditas pokok lainnya seperti cabai, telur, ayam, atau daging. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala BPS, "Tetapi kok tidak pernah didemo yah?" Pertanyaan ini menggelitik, mengingat kenaikan harga bahan pokok seperti cabai atau telur sering memicu protes masyarakat, sementara kenaikan harga rokok justru diterima begitu saja.

Rokok dalam Keranjang Kemiskinan: Ironi yang Memilukan

Dalam penghitungan garis kemiskinan, BPS menggunakan paket komoditas kebutuhan dasar yang terdiri dari 52 jenis komoditas, termasuk padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak. Uniknya, rokok juga termasuk dalam daftar ini. Mengapa? Karena rokok "dimakan"---meskipun bukan dalam arti harfiah sebagai makanan bergizi.

Data Susenas menunjukkan bahwa lebih dari 73 persen pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk membeli 52 komoditas tersebut, termasuk rokok. Sisanya, sekitar 26 persen, digunakan untuk kebutuhan non-makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Artinya, jika rumah tangga miskin mengurangi atau berhenti merokok, mereka dapat mengalihkan pengeluaran tersebut untuk memenuhi kebutuhan pokok yang lebih penting, seperti makanan bergizi atau biaya pendidikan anak.

Kebiasaan merokok tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga pada kesehatan. Perokok aktif maupun pasif berisiko tinggi terkena berbagai penyakit, seperti gangguan pernapasan, jantung, stroke, dan kanker. Biaya pengobatan penyakit-penyakit ini sangat mahal dan dapat memperburuk kondisi ekonomi keluarga. Akibatnya, rumah tangga miskin yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari akan semakin terjerat dalam kemiskinan akibat biaya kesehatan yang membengkak.

Selain itu, merokok juga mengurangi produktivitas kerja. Perokok cenderung lebih mudah sakit, sehingga sering absen bekerja atau tidak bisa bekerja secara optimal. Hal ini mengurangi pendapatan keluarga dan memperparah kondisi kemiskinan.

Pengaruh Budaya

Data dari Kemenkes dan dari BPS serta data Komnas Pengendalian Tambakau, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari waktu ke waktu perokok pemula usia 10-18 tahun beberapa tahun terakhir. Perokok remaja itu mencapai sekitar 11-12 persen pada tahun 2024 dari 9 persen pada tahun 2018. Sedangkan, perokok usia di atas itu telah mencapai sekitar 33 persen pada tahun 2024.

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan komunitas tradisional, kenduri atau selamatan menjadi salah satu ritual yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Acara-acara seperti syukuran kelahiran, pernikahan, kematian, atau bahkan peresmian rumah kerap dijadikan momentum untuk berkumpul dan bersilahturahmi. Namun, di balik nilai kebersamaan yang dijunjung tinggi, tradisi semacam ini turut berkontribusi terhadap meningkatnya akses dan konsumsi rokok di masyarakat. Rokok sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyelenggaraan kenduri, baik sebagai pelengkap sajian bagi tamu maupun sebagai sarana penghormatan kepada sesama. Dalam banyak kasus, rokok bahkan dianggap sebagai "tanda terima kasih" bagi para undangan yang hadir, sehingga menciptakan persepsi bahwa menolak rokok bisa dianggap tidak sopan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun