Mohon tunggu...
Dwi Ardian
Dwi Ardian Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi

Pengumpul data belajar menulis. Email: dwiardian48@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gempa Bumi Bukan Gejala Alam Semata

7 Agustus 2018   16:06 Diperbarui: 7 Agustus 2018   16:20 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bencana alam berupa gempa bumi yang melanda saudara-saudara kita di Lombok Nusa Tenggara Barat kembali terjadi Ahad (5/8) petang, saat sebagian orang sedang melaksanakan salat Isya. Menurut BPBD NTB korban jiwa sementara mencapai 98 orang serta ratusan korban luka ringan dan berat lainnya.

Mendengar bencana menimpa saudara-saudara kita tentu kita harus memberikan bantuan semampu kita. Minimal mendoakan mereka. Jangan sampai bencana yang menimpa saudara kita menjadi komoditas politik kita untuk menyerang kelompok atau pribadi tertentu.

Di sisi lain kita juga jangan menganggap bahwa bencana yang terjadi hanya peristiwa alam semata. Jangan menganggapnya tidak bermakna apa-apa.

Sebagai umat yang beriman tentu kita percaya wahyu yang memberi tahu kita makna di balik setiap peristiwa. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kita tidak boleh ekstrim dalam menyampaikan wahyu dengan menerapkan cocoklogi untuk mendukung ideologi kita atau pilihan politik kita semata. Harus tetap adil dalam menyampaikan sesuatu serta jauh dari prasangka tidak berdasar.

Sebagai contoh ada yang mengaitkan peristiwa itu adalah sebuah teguran kepada Gubernur NTB akibat sikap politiknya beberapa saat terakhir. Itu tidak fair dan tidak berdasar sama sekali.

Ada pula yang menuliskan sebuah artikel di media massa bahwa itu hanya peristiwa alam biasa semata. Tidak ada hubungannya dengan manusia di atasnya. Orang ini saya lihat niatnya baik untuk menjawab tudingan kelompok ekstrim pertama. Sayangnya, jawaban itu memunculkan sikap ekstrim yang lain dalam masalah ini. Seakan ilmu pengetahuan di atas segalanya sehingga berita wahyu dari Sang Pencipta diabaikan begitu saja.

Sebagi muslim tentu saya akan menengok kembali bagaimana agama saya menyikapi peristiwa berupa bencana alam. Dan ternyata semua telah dijelaskan dengan rapi dan ada di banyak tempat serta penjelasan ulama salaf maupun khalaf, dulu dan sekarang.

Kita tentu meyakini bahwa segala sesuatu atas izin Allah. Dan segala kehendak Allah tidaklah terjadi begitu saja kecuali tanpa hikmah yang harus kita ambil pelajaran di baliknya. Salah satunya gempa bumi. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda, 

"Jika kalian melihatnya atau mengalaminya (yakni bencana alam berupa gempa dan lainnya), maka segeralah berzikir, berdoa, bersedekah, dan banyak memohon ampun." (HR Bukhari dan Muslim)

"Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS Asy-Syuura: 30).

Itu adalah dalil wahyu di antara sekian banyak dalil di dalam Alquran dan Alhadits mengenai bencana. Hampir semuanya menyuruh kita untuk introspeksi diri masing-masing. Bukan malah sibuk menyalahkan orang atau kelompok lain. Kita semua punya peran untuk memperbaiki keadaan lingkungan dan bangsa kita.

Boleh jadi bencana datang karena teguran dari kebencian yang selalu kita sebarkan di mana-mama. Semakin banyak kita menyalahkan orang lain maka solusi dari permasalahan akan semakin jauh. Kita kadang tidak adil dalam bersikap. Suatu bencana malah dijadikan dasar untuk melegitimasi sikap politik kita.

Boleh jadi pula karena kita semakin kurang peduli kepada sesama anak bangsa. Bencana penyakit dan kelaparan di Papua dan yang terbaru di Maluku tidak cukup ampuh mengetuk pintu-pintu hati kita untuk peduli. Maka Allah bisa jadi kembali "menegur" kita. Hari ini mungkin di NTB tetapi kalau penyakit apatis kita belum juga terobati maka boleh jadi di tempat lain lagi dan kembali meminta korban yang lebih banyak lagi.

Boleh jadi karena ibadah kita hanya menjadi rutinitas saja (itu pun kalau masih melaksanakan kewajiban ibadah). Tidak bisa menjadi ibadah yang benar-benar membangun jiwa yang bersih. Ibadah yang seharusnya melahirkan kepedulian sosial yang jauh dari sikap egoisme justru sebaliknya menjadi sebuah "alat" untuk membenarkan kekerdilan jiwa.

Boleh jadi diri-diri kita sudah semakin banyak dosa dan maksiat tetapi itu hanya dianggap biasa oleh kita. Makanya tidak salah jika Sang Pencipta coba menegur kita agar kita kembali tersadar sehingga bisa selamat, bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat.

Atau kemaksiatan itu terjadi di sekitar kita tetapi kita tidak peduli sama sekali. Kita sudah semakin pongah dengan ilmu pengetahuan kita yang mencapai batas pendidikan tertinggi. Kita seakan mengesampingkan kekuasaan Allah.

Coba kita saksikan Jepang yang katanya bisa menemukan teknologi terbaru yang bisa menanggulangi gempa dan tsunami. Secara bersamaan Allah menunjukkan kuasanya mendatangkan bencana itu berkali-kali. Menghancurkan kesombongan mereka yang menuhankan pengetahuan.

Yang terakhir dan mungkin ini yang paling utama bagi umat manusia. Kita dicipta tidak begitu saja dibiarkan tetapi kita diberikan tanggung jawab yang besar. Yang terbesar adalah beribadah dengan kemurnian ibadah sesuai petunjuk wahyu.

Boleh jadi Allah menegur kita karena cara kita beribadah (baca: menyembah) sudah tidak sesuai keinginan Allah. Kita berani menyekutukannya dengan yang lain. Kita takut dengan "penunggu" gunung, "penunggu" laut, dan lainnya sehingga kita rela melakukan ritual dan "persembahan" yang bertentangan dengan syariat. Sama sekali Allah tidak memerintahkan kita melakukannya, bahkan mengutuk perbuatan tersebut.

Ritual syirik berbalut budaya yang dianggap biasa. Tidak salah kalau "teguran" itu menimpa semua orang yang bukan hanya kepada pelaku syirik tersebut.

Mari kembali kita merenung, untuk apa kita dicipta. Jangan menjadi orang ekstrim dalam menggunakan simbol agama dalam menyerang orang lain. Jangan pula menjadi kelompok ekstrim lainnya yang tertipu dengan pengetahuan yang dimilikinya sehingga mengabaikan campur tangan Sang Pencipta dari setiap kejadian. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun