"Anakku, maaf... sampai hari ini aku belum bisa mendampingimu setiap pagi, belum bisa menyapamu langsung sebelum tidur. Tapi doaku tak pernah absen. Dan rinduku tak pernah berhenti. Jangan dulu besar... biarkan aku menebus waktu yang pernah hilang."
Menjadi orang tua tanpa bisa tinggal bersama anak adalah luka yang tak terlihat, tapi terasa setiap hari. Tak ada yang benar-benar siap hidup jauh dari darah daging sendiri. Tapi kadang hidup menempatkan kita dalam pilihan yang pahit: demi menjaga stabilitas, kita harus melepaskan sebagian keutuhan.
Perceraian dan Jarak yang Memisahkan
Sejak perceraian itu, aku tidak tinggal serumah dengan anak-anak. Aku tak lagi tahu persis menu makan mereka, siapa yang menenangkan saat mereka demam, atau bagaimana suara tawa mereka saat pulang sekolah.
Setiap hari aku hanya bisa menebak-nebak dari foto, dari kabar yang singkat, atau dari kenangan yang tersimpan dalam-dalam.
Menjadi Orang Tua dari Kejauhan
Menjadi orang tua yang tidak tinggal bersama anak itu seperti mencintai dari balik jendela. Kita lihat mereka tumbuh, tapi tak bisa benar-benar menyentuh. Kita ingin hadir, tapi keadaan berkata: “Belum bisa.”
Aku ingin mereka tahu, bahwa meski fisikku jauh, hatiku tetap di sisi mereka.
Bahwa meski aku tak bisa membacakan dongeng malam ini, aku tetap menyelipkan doa di setiap sujud.
"Nak, Jangan Dulu Besar…"
Aku takut tak sempat membelikanmu mainan yang dulu pernah kamu minta.
Tak sempat mengantar kamu ke sekolah dengan motor tua kita.
Tak sempat memperbaiki citraku yang mungkin retak di matamu karena aku tak hadir seperti dulu.
Biarkan waktu berjalan pelan. Agar aku sempat membahagiakanmu.
Bukan dengan uang atau barang, tapi dengan hadir kembali—di waktu yang lebih baik, di hati yang tak lagi terbagi.