Oleh: Dr. Akhmad Aflaha, S.E., M.M.
“Dia hanya ingin belajar. Tapi setiap hari, dia belajar satu hal lebih dulu: bertahan dari ejekan dan pukulan teman-temannya.”
Kalimat ini mungkin terasa dramatis, tapi sayangnya sangat nyata di dunia pendidikan kita. Perundungan (bullying) bukan cerita baru di sekolah, tetapi hingga hari ini ia masih menjadi luka lama yang terus berdarah.
Kenapa Perundungan Tak Kunjung Hilang dari Dunia Pendidikan?
Setiap tahun, ada puluhan hingga ratusan kasus perundungan yang mencuat ke publik. Sisanya? Tenggelam bersama luka batin para korbannya. Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, tempat membangun mimpi, bukan tempat mencetak trauma.
Namun faktanya, kekerasan fisik, verbal, hingga sosial terus terjadi—bahkan kini merambah ke ranah digital (cyberbullying). Dalam ruang kelas, lorong sekolah, hingga grup WhatsApp, perundungan punya banyak wajah dan tidak pandang usia.
Akar Masalahnya Lebih Dalam dari Sekadar “Bercanda”
Budaya yang Keliru
Di banyak sekolah, kalimat seperti “ah, biasa aja itu mah... cuma main-main,” atau “kan cuma candaan,” menjadi justifikasi untuk kekerasan yang terselubung. Kita terlalu sering mentoleransi kekerasan yang dibungkus tawa.
Lebih parah lagi jika kekerasan justru dibenarkan atas nama senioritas: “dulu saya juga digituin, sekarang giliran saya.” Ini adalah pola siklus kekerasan yang diwariskan, bukan pendidikan karakter.