Setiap tanggal 03 Juni, rakyat Aceh memperingati hari wafatnya Hasan Muhammad di Tiro, tokoh yang namanya tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan Aceh modern. Hasan Tiro bukan sekadar pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), melainkan seorang visioner yang menggugah kembali kesadaran kolektif Aceh atas sejarah, identitas, dan harga diri sebagai bangsa.
Lahir di Pidie pada 25 September 1925, Hasan Tiro tumbuh sebagai anak bangsa yang memiliki wawasan luas. Ia sempat mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan aktif sebagai intelektual diaspora. Sebelum terjun dalam perjuangan bersenjata, Hasan Tiro pernah menulis dan menyuarakan aspirasi Aceh melalui jalur diplomasi dan tulisan-tulisan bernas, termasuk kritiknya terhadap kebijakan pemerintah pusat yang ia nilai mengabaikan hak dan martabat masyarakat Aceh.
Puncak dari keresahan dan perlawanan itu terjadi pada 04 Desember 1976, ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunong Halimon, Aceh. Dari sana, dimulailah babak panjang konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah Indonesia yang berlangsung selama hampir tiga dekade. Konflik tersebut menelan banyak korban jiwa, meninggalkan luka mendalam, namun juga menjadi cermin dari betapa kuatnya tekad masyarakat Aceh untuk memperjuangkan keadilan dan kedaulatan.
Namun perjuangan Hasan Tiro bukan tanpa evolusi. Di masa tuanya, ketika dunia dan bangsa ini telah berubah, ia menerima kenyataan bahwa solusi bersenjata tak lagi relevan. Pada tahun 2005, setelah bencana tsunami dan tekanan diplomatik internasional, lahirlah Perjanjian Helsinki yang mengakhiri konflik dan memberi Aceh otonomi khusus. Momen ini menjadi titik balik dari perjuangan kemerdekaan menuju perjuangan membangun kedamaian dan keadilan yang berkelanjutan.
Hasan Tiro kembali ke Aceh pada 2008, setelah lebih dari 30 tahun hidup dalam pengasingan. Ia pulang bukan sebagai pemberontak, tapi sebagai bapak pendiri perdamaian. Kehadirannya disambut dengan penuh penghormatan, sebagai simbol rekonsiliasi dan pengakuan terhadap sejarah panjang perjuangan Aceh.
Beliau wafat pada 3 Juni 2010, dan dimakamkan di Komplek Makam Raja-Raja Aceh, sebuah kehormatan tertinggi yang mencerminkan kedalaman peran dan cintanyaÂ
Mengenang Hasan Tiro bukan berarti mengagungkan konflik, melainkan merenungkan esensi dari perjuangan yang ia usung; harkat, martabat, dan hak untuk menentukan masa depan sendiri. Kini, saat Aceh melangkah di era damai dan demokrasi, warisan Hasan Tiro tetap relevan. bukan dalam bentuk senjata, melainkan dalam semangat kritis, keberanian bersuara, dan tekad untuk membangun Aceh yang adil, bermartabat, dan sejahtera.
Hasan Tiro telah pergi, tetapi gagasan dan semangatnya tetap hidup, mengalir dalam darah para generasi muda Aceh yang kini melanjutkan perjuangan dalam bentuk yang baru melalui pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan pengabdian.
Selamat jalan, Wali Negeri. Terima kasih atas perjuanganmu. Damailah di sana, di tanah yang kau cintai dengan segenap jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI