Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Eucalyptus (2) : Zie,Lo Kenapa?

10 April 2013   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:26 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Eucalyptus 2 : Zie, Lo Kenapa?

Nokia 2100. Entah masih adakah orang lain yang memilikinya di tengah gempuran Smartphone berbagai merk dengan harga standar hingga selangit zaman sekarang, pikir Sam geli. Kendati punya satu hp lain, hp jadulnya ini masih selalu dipakai karena begitu disayangnya. Bukan soal gengsi. Tapi sejarahnya. HP itu pemberian seseorang yang berarti di hidupnya bertahun-tahun lalu.

Kini HP itu bergetar dengan tulisan 1 message received di layar kuningnya.

Lagi ngapain, Sam?

Tanpa membaca nama pengirimnyapun Sam tahu kalau itu dari Zie. Cewek itu memang jadi pemurung kini, tapi kebiasaannya merecoki Sam dengan sms dan telepon –yang kadang tidak penting- masih tak berubah. Di jaman serba BBM ini, Sam dan Zie masih menjalankan tradisi lama :SMSan.

“Biasa. Lg brcumbu dg si bohai malam,”jempol Sam mengetik cepat dan dengan cepat pula menekan tombol send.

Tak lama, HPnya bergetar lagi. Balasannya kembali muncul.

“Oh. Ya udh. Jgn tidur larut…”

Kening Sam mengerut. Udah? Gitu doang?

“Sip. Lo jg. Met istirahat” balas Sam akhirnya.

Sam terdiam. Zie memang masih rajin mengabsennya. Tapi belum pernah ada sejarahnya SMSan yang demikian garing seperti barusan. Sam merasa, apapun yang menjadi masalah Zie saat ini,sangat erat hubungannya dengan dirinya sendiri.

Tapi apa?

Sam merasa, tidak pernah menyinggung atau menyakiti Zie dengan sengaja. Atau adakah sesuatu yang dilakukan Sam yang tanpa sadar melukai Zie?

Sam tidak tahu. Dia berusaha mempositifkan pikirannya. Mungkin benar, Zie hanya sedih. Takut kehilangan dirinya yang memang tak pernah absen menemani hari-hari Zie.

Tapi kenapa?

Zie memang cukup dekat dengannya. Tapi rasanya tak ada sesuatu yang aneh dengan hubungan mereka. Selama ini, Sam hanya menganggap hubungan mereka hanya sedikit lebih akrab untuk disebut pertemanan biasa. Namun akankah Zie berpikir hal yang sama? Belum tentu!

Jam 8 lewat, langit cukup bersahabat, walau sesekali rembulan tampak malu-malu mengintip di balik awan. Suasana kota Bengkulu malam itu tak terlalu ramai. Ah, kota ini memang selalu lengang. Warganya seperti tak mengenal kosakata macet yang akrab dengan penduduk metropolitan.

Di salah satu sudutnya, tampak ibu paruh baya pemilik warung tenda sibuk mencatat pesanan pengunjungnya, sepasang laki-laki dan perempuan. Masih muda. Mungkin usia sekitar 20an.

“Saya nasi uduk, sama ayam bakar,” kata si cewek.

“Saya ayam goreng,” kata yang cowok.”Sama…”

“Nasi goreng!” potong si cewek cepat. “Iya kan?”

Temannya mengangguk.

“Terus, es teh banyakin es batunya, sama…” mata si cewek berpindah dari daftar menu ke wajah si cowok. “Lo apa?”

“Jeruk hangat,”

“1 nasi uduk sama ayam bakar, 1 nasi goreng tambah ayam bakar, es teh sama jeruk hangat,” kata pemilik warung mengulang pesanan pelanggannya.

Sambil menunggu pesanan tampak akrab bercengkerama di meja paling sudut. Yang cewek, mengenakan kaos hitam dan celana jeans selutut. Baik wajah maupun rambutnya tampak berantakan. Sementara cowok di depannya tampak lebih rapi, jeans panjang yang dipadu dengan kemeja batik biru dengan motif klub bola terkenal.

“Uggh, lama banget,” keluh si cewek. Bibirnya yang polos tanpa usapan lipstick maupun lipgloss tampak manyun. “Lapaarr,”

“Sabar, sebentar juga mateng,” kata si cowok menenangkan.

Si cewek menopangkan kedua tangan di dagunya. Tampak kesal. Sementara yang cowok hanya tersenyum tipis, dan menggelengkan kepalanya samar-samar.

Tak lama, meja di depan mereka sudah penuh dengan pesanan masing-masing. Masih bertopang dagu, si cewek memperhatikan gerak-gerik si cowok yang tampak memindahkan es batu di gelas air putihnya ke gelas berisi es teh dengan sendok.

“Kapan makannya kalau ngeliatin gue terus gitu, Zie?” kata Sam jengah.

Zie tersenyum. “Kok tahu? Emang berasa ya kalau lagi dilihatin? Lo kan nggak lihat,”

“Ya tahulah,” kata Sam membuang muka. Terlihat salah tingkah. Zie, yang masih bertopang dagu justru terlihat makin antusias. Kali ini malah terang-terangan memandang tepat ke wajah Sam yang terlihat memerah.

“Zie, udah donk,” kata Sam yang menunduk dan mulai mencuil ayam gorengnya dengan gugup.

Zie tertawa kecil. “Gue suka lihat mata lo,Sam,”

“Ha! Iyalah. Mata gue kan bagus. Kaya orang jerman, kan?” kata Sam, tapi masih belum mampu menatap Zie balik.

“Huuu, orang Jerman di hongkong?” maki Zie. “Tapi iya sih, mata lo bagus banget,”

Sam tahu, Zie tidak main-main dengan ucapannya. Dan betul, Zie punya alasan untuk memuji matanya. Sebagai pemuda berperawakan kurus dan kecil, wajah Sam jauh dari kata tampan, setidaknya begitu kata Zie. Wajahnya hanya pas disebut manis, khas salah satu suku yang ada di pulau Jawa. Daya tarik utama dirinya ada memang pada mata. Berbeda dengan warna mata penduduk Indonesia kebanyakan yang hitam, mata Sam terlihat cokelat. Belum lagi bulu matanya yang lentik plus alis yang tebal. Hanya sayang, Sam terlalu pemalu. Dia nyaris tak pernah berani menatap lawan bicaranya lebih dari 2 detik.

“Iya. Makasih. Tapi gue tetap nggak akan pernah bisa balas tatapan lo macam itu,Zie!” kata Sam. “Udah, cepet makan. Tadi katanya lapar,”

Kali ini Zie menurut. Dicuilnya bagian ayam bakar yang menghitam. Sejurus kemudian, tangannya dikibaskan cepat-cepat.

“Wuupps! Panas!!”

Sam terbangun dari lamunannya tentang Zie. Otaknya kembali berputar. Zie memang sering memperhatikannya. Menatap mata Sam dalam-dalam dan untuk waktu yang lumayan lama.

Hal yang juga kerap Sam dapati dari perempuan-perempuan lain, yang dirasa menaruh hati pada dirinya. Meski jauh dari tipikal sosok pemuda sempura, Sam terbukti mampu meluluhkan hati sejumlah perempuan.

Sam tak rupawan,jelas. Tapi juga jangan berpikir kalau Sam berasal dari keluarga kaya raya, tidak. Orangtuanya hanya transmigran di dusun Kecil salah satu Kabupaten di Bengkulu. Sebagai alumni sastra Arabdi salah satu universitas di Bandung, otak Sam juga terbilang biasa-biasa saja, jauh dari kesan pintar. Lantas, bagaimana cewek-cewek itu bisa luluh jika berhadapan dengan Sam? Apakah Sam memiliki ilmu pelet? Ah, mantan santri kok main dukun!

Hanya satu jawabannya. Sam yang pemalu dan pendiam, selalu jadi pendengar yang baik. Tak pernah sekalipun dia menolak dicurhati siapapun. Melalui telinganya, Sam berhasil memenangkan hati para cewek yang umumnya kurang perhatian. Sam peka, dia tahu persis cewek mana saja yang menaruh hati padanya. Yang jatuh cinta padanya.

Tapi… mungkinkah Zie salah satunya?

Sam tak pernah memikirkan kemungkinan hal ini sebelumnya. Sam tahu, Zie menyayanginya. Tapi mencintainya? Menaruh hati padanya? Berharap lebih dari seorang teman padanya? Mungkinkah?

Mendadak, Sam teringat ucapan Zie, baik di sms, saat di telepon, maupun saat bertatap muka langsung.

“Sam, lo dmn?”

“Sam, makanla dulu,”

“Istirahatla, jangan tidur larut,”

“Ke dokterla cepat, Sam. Gue sedih kalo lo sakit,”

“Pergi kemana tadi? sama siapa? Gue cemburu tahu, Sam!”

“Ah, lo mah gitu. Ga pernah mesra kalau sama gue,”

“Sam, gue sayang lo,”

“Sam, gue sayang banget sama lo,”

Jantung Sam berdegup. Benarkah? Benarkah Zie sama dengan perempuan-perempuan lain yang menaruh hati padanya? Tapi kalau begitu, kenapa Sam baru menyadarinya sekarang? Bukankah Sam selalu peka dengan perempuan yang menaruh hati padanya, dan memilih bersikap tak terlalu akrab agar tak dianggap pemberi harapan. Sam paling takut menyakiti hati orang lain. Sebisa mungkin hal itu dihindarinya.

Tapi bagi Sam Zia berbeda, ada sesuatu dalam diri Zie yang membuat Sam merasa nyaman, tanpa was-was akan dicintai atau apapun itu. Salahkah penilaiannya ini? Bagaimana jika Zie benar-benar mencintainya? Bagaimana jadinya persahabatan mereka nanti?

Ah tidak! Ditepisnya jauh-jauh pikiran itu. Sam yakin Zie tidak seperti itu. Zie terlalu terbuka, terlalu blak-blakan, terlalu tulus, terlalu kekanakan untuk mencintainya. Tidak, Sam yakin tak ada rasa macam itu dalam diri Zie, jika ada, dia pasti merasakannya, seperti yang dirasakannya pada Kia, Ade, Che,Key dan sederet perempuan lain yang Sam tahu persis berharap jadi kekasihnya.

Zie menyayangi Sam. Sangat menyayanginya mungkin. Tapi mencintai Sam? Tidak sama sekali! Sam berani bertaruh soal itu.

Lantas, jika kemungkinan Zie mencintai Sam telah dicoret, kenapa Zie bersikap demikian aneh.

Apapun jawabannya, Sam tahu, pasti ada hubungan dengan dirinya.

“Zie, Lo kenapa sih?” guman Sam sebelum kantuk berat memaksanya terpejam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun