Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Saat ini dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta di tunjuk sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terompet Itu dan Fitnah Akhir Zaman

2 Januari 2016   19:38 Diperbarui: 2 Januari 2016   19:49 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjelang akhir tahun, ada sedikit peristiwa yang ingin saya sorot dan kupas dalam tulisan ini. Pertama adalah banyak munculnya fitnah fitnah keji, marak dan dengan mudahnya di sebar tanpa adanya crosscheck terlebih dahulu. Kadang kadang yang menjadi miris adalah banyak kawan dan handai tolan kita yang well known sebagai orang yang berpendidikan dan terpandang, ketika mendapatkan berita itu langsung mengshare tanpa mengecek keabsahan berita yang didapat. Gejala ini saya dapatkan di dunia percaturan Sosial media khususnya pasca pemilihan president Indonesia yang head to head kemaren 2014. Kedua adalah keterkejutan saya dengan statement terbuka dari seorang actor kenamaan Indonesia, yang pada satu peran yang dimainkan di salah satu film besar, dia yang memerankan tokoh besar, pendakwah pendiri salah satu ormas terbesar di Indonesia, yang kecewa secara religious dan menyatakan ketidakimanannya dan beralih kepada keyakinan lainnya. Saya tidak mempermasalahkan apakah dia mau pindah keyakinan atau tidak, namun fakta fakta yang dimunculkan kenapa agama yang Rahmatan Lilalamin ini tidak terlihat kesejukannya dan kedamaiannya dimatanya? Apakah hanya gara gara segelintir orang yang di ekspos media yang mengutamakan kekerasan dan arogansi dalam berdakwah? Mencegah kemungkaran dengan kekerasan dan kebringasan? Atau malah akhir akhir ini di daerah timur tengah dimunculkan sebuah kelompok yang mengatas namakan agama Rahmatan Lilalamin, namun dalam kelakuannya dengan mudah membunuh mereka yang beda pendapat lebih lebih yang berbeda keyakinan. Belum lagi saling benci dari kelompok politik semenjak meninggalnya Rosulullah SAW yang memunculkan golongan Khawarij, Pendukung Ali R. A (Syiah) dan pendukung Muawiyah yang sampai sekarang kebawa konflik Syiah-sunni. Ketiga adalah drama kolosal yang dimunculkan dari rekaman para petingi negara yang seolah olah mengakahi pengelolaan sumber daya alam Negeri ini, yang dianggapnya Sumber daya alam itu seolah olah milik nenek moyangnya yang dengan enaknya dimainkan untuk kepentingan sendiri. Ditambah lagi proses pembelaan yang membabi buta yang dipertontonkan oleh elit politik yang tanpa malu dan tanpa memperhitungkan kemaslahatan umat, menjadikan masyarakat muak dengan sandiwara ini. Belum lagi banyaknya contoh contoh yang kurang sedap dari para elit politik yang berbasis partai keagamaan yang akhirnya ujung ujung muncul meme “ lebih baik dipimpin pemimpin kafir tapi tidak korup” naudzubilla mindzaliq. Dari meme terakhir seolah olah pemimpin muslim itu identic dengan korup dan abuse of power ya? . Disinilah letak kegagalan Umat muslim Indonesia (baca; partai politik Islam) dalam memunculkan sosok pemimpin yang amanah dan bisa mensejahterahkan umat. Disisi lain ada semacam judgement “ lha itu kan hanya permainan media saja yang hanya mengekpose kelompok tertentu dan media itu dikuasai oleh kelompok yang lain”. Mungkin Judgment ini ada benarnya, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Kenapa tidak sepenuhnya salah? Andai pemimpin kita itu seperti para sahabat Rosulullah SAW dalam memimpin, insya Allah usaha usaha untuk mendeskriditkan umat menjadi lebih kecil. Keempat adalah munculnya fitnah melalui ditemukannya terompet yang terbuat dari sisa produksi kitab Suci, masif lagi jumlahnya. Skenario apa lagi yang ada nih? Begitu tanya ummat di kepalanya masing masing. Apa yang salah? Kan produksi kitab suci kana da protap dan prosedurnya, untuk yang gagal cetak dan gagal produksi, sisa bahannya harus dikemanakan dan diapain kan sudah jelas, apakah kementrian agama dan mitra percetakannya melakukan kesalahan prosedur? Ataukah ada oknum yang memainkan diantara SOP percetakan tersebut? Hemmmmm pelik juga. Belum lagi masyarakat yang dikorbankan khususnya masyarakat awam yang tahunya hanya “mencari nafkah” seperti pengrajin kecil dana tau mereka yang memasarkannyaa. Di beberapa social media malah ada beberapa dialog imaginer yang mengambarkan tentang investigasi kesalahan SOP percetakan kitab Suci ini dimana yang berujung pada pembuatan terompet yang dikhawatirkan ada penistaan agama. Polisi : Kenapa trompet yang kamu jual dari sampul al-Qur'an ?Penjual 1 : Maaf pak, saya tidak sengajaPolisi : Kamu, kenapa sampul al-qur'an ?Penjual 2 : Iseng aja pak, cari sensasi, supaya eksis di tipiPolisi : Kalau kamu, apa alasan kamu make sampul al-Qur'an?Penjual 3 : Yang penting bahannya saya beli pak, nggak dari ngorupPolisi : Hei, kamu, kenapa trompet kamu dari sampul al-Qur'an?Penjual 4 : Ngapain bapak ngurusin saya, urusin juga tuh para tikus - tikus berdasi, kampret yang demen ngemainin kepentingan rakyat.Polisi : Lha ini juga, ngapain jual trompet dari sampul al - Qur'an?Penjual 5 : Ssssssst...... ini buat bapak ( $ )Polisi : Hayo, kenapa sampul al - Qur'an ini kamu buat trompet ?Penjual 6 : Nilai seninya bagus pak, daya jualnya melesat, labanya tingkat sidrotul muntahaPolisi : Tolong jelaskan, kenapa trompet ini dari sampul al- Qur'an ?Penjual 7 : Supaya orang - orang yang merayakan tahun baru tidak keblabasan pak, niup trompet sembari inget ama yang nurunin ( sampulnya ) al - Qur'an, he hePolisi : Nah, kamu sekarang, utarakan juga alasan kamu !Penjual 8 : Bapak diem aja deh, MUI aja diem kokPolisi : Kalau kamu, kenapa kamu make sampul al - Qur'an untuk trompet kamu ?Penjual 9 : Ah, apalah arti sebuah sampul pakPolisi : Ayo jelasin, kenapa bahan trompet ini dari sampul al - Qur'an ?Penjual 10 : Emang, masalah buat lho ...Kapolres: Ada penjual lagi ? Bawa sini ! Mana suppliernya? Dari Dialog imaginer ini sepertinya menggambarkan skeptisan masyarakat dalam menyikapi permasalahan dari jawaban yang sangat sok filosofis “Supaya orang - orang yang merayakan tahun baru tidak keblabasan pak, niup trompet sembari inget ama yang nurunin ( sampulnya ) al - Qur'an, he he” atau yang skeptis seperti “Yang penting bahannya saya beli pak, nggak dari ngorup”, “Ngapain bapak ngurusin saya, urusin juga tuh para tikus - tikus berdasi, kampret yang demen ngemainin kepentingan rakyat” ataupun jawaban semau gue seperti “Iseng aja pak, cari sensasi, supaya eksis di tipi”, atau “ Emang, masalah buat lho ...” adalah jawaban jawaban yang menurut saya cukup representative di masyarakat.Pertanyaannya kenapa kog begitu? Sekilas memang kayaknya sih itu tidak ada isu agama. Masyarakat awam pengrajin terompet mikirnya adalah yang penting dapat kertas ya sudah langsung pakai. Oh lah kalau yang penting dapat kertas, apakah ga ada kertas bekas lain ? perlu diusut kayaknya Siapa yang supply Al Quran bekas ke pengrajin rumahan gitu?. Kenyataan lain yang mbikin miris adalah masyarakat awam mereka gak mikir sampai ke situ. Kadang masih banyak umat yang baca huruf arab aja mungkin gak bisa Menilik dari sisi pengusaha percetakan misalnya ada customer ingin cetak Al Quran tapi ternyata tidak jadi atau ada sisa dan kebetulan pengusaha itu udah buat covernya, DP udah masuk. Dari pada dibuang atau dibakar mending dijual lagi kan? walaupun masih tetep rugi. Kalaupun masuk pengolahan kertas ntar disana juga dicincang2 itu kertas.. ntar rame lagi... Kembali lagi ke masyarakat awam yang tahu nya hanya survive sedemikian mungkin untuk mendapatkat penghasilan, ada bahan terus mereka membikin kerajinan, terompet untuk tahun baru atau mungkin nanti bakalan ada mainan anak-anak yang dilapisi kertas sampul Al Quran. Disini terlihat masyarakat kecil yang jadi korban, nyari rejeki halal ternyata tidak mudah. Niatnya bener mau nyari nafkah, eh bisa jadi ngelakuinnya yang menimbulkan polemik. Sepertinya kasus terompet ini ada SOP yangg tidak diikuti, Masalahnya di perusahaan itu kontrol untuk menjadikan limbah sisa percetakan tadi sepertinya ndak ada, padahal protabnya harus dilebur. Hal ini adalah Contoh kecil bagaimana korupsi itu terjadi. Jadi korupsi itu tidak perkara “ngutit” duit aja tapi banyak yang linked kesana. Kedua, masyarakat kita yang Belum waspada sehingga bisa di "tunggangi". Ketiga ketegasan aparat yang masih pandang bulu menjadikan semua cenderung ceroboh dan “semau gue”. Keempat, kayaknya ini yang penting, orang orang berilmu atau yang ngaku berilmu cenderung elitis dan kurang membumi, sehingga gagal mencerdaskan masyarakat Saya melihat semua kasus diatas sebagai "kegagalan" dakwah. Gagal menyajikan pemahaman sederhana terhadap teks teks keagamaan yang bisa dicerna masyarakat awam. Sehingga masyarakat kurang aware tentang kemungkinan kemungkinan dimanfaatkan oleh sekelompok orangMisalkan nih banyak orang yang ngaku ngerti isi Qur'an yang ditunjukin dia sering mengutip ayat dan hadist namun dan ndak ngelakuin serta mengamalkan apa yang diomongkan. Lebih detail begini di Qur'an kan dianjurkan untuk bertutur yang baik, saling mengingatkan, beramal tapi kadang masih banyak yang saling mengunjing kawannya, menjadikan gunjingan dari dapur ke dapur atau malah memoles cerita seolah olah mendramatisir yang terjadi atau pelit banget kalau diminta bantuan, sukanya hanya meminta bantuan Lha bagaimana cara memperbaikinya? Hemmm mungkin harus dibawa ke bengkel alqodar, bengkel yang bisa memasukkan ruh Qur'an ke qolbu kita, istilah lainnya adalah menginstal ulang Quran yang ada pada diri kita yang kemudian dari penginslatan individu ini insyallah akan bisa mengformat komunitas. Dari sini akan memunculkan pemahaman yang holistic terhadap apa maunya “Tuhan” melalui kitab suciNya sehingga kita sebagai umat yang berpegang pada ajaran yang Rahmatan Lilalamin tidak terjebak dalam simbol simbol saja. Kalau terjebak dalam urusan simbol, maka adanya hanya Jarkoni (iso ujar ora iso ngelakoni- bisanya berteori mempraktekknya ndak becus) Sesungguhnya, Rumus perbaikan sudah ada sejak lama: Ibda' binafsik (mulai dari diri sendiri). Memang tidak mudah, karena harus bisa mengalahkan hawa nafsu. Kalau sudah bisa memperbaiki diri sendiri, akan lebih mudah memperbaiki yang di luar diri kita. Wallahu A'lam bishawabTulisan ini dimuat di : http://www.pcinu-anz.org/terompet-i...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun