Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenyataan

17 Juni 2018   15:10 Diperbarui: 17 Juni 2018   15:21 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di depan cermin, ia berdiri membetulkan penampilannya. Membetulkan bajunya, rambutnya, lalu antingnya. Kemudian memutar tubuhnya, menengok ke samping kanan kiri, dan berbalik lagi menghadap cermin. Ia melihat bayangannya di cermin, lalu tersenyum. Tiga detik kemudian, ia mulai mendekatkan wajahnya, membungkuk, melihat bola matanya, memastikan bayangan itu adalah bayangan nya.

Kontan ia meloncat kaget. Melihat gerakan bola mata dalam bayangan cermin itu mengikuti arah bola matanya. Seakan lupa bahwa itu adalah gerakan asli dari matanya sendiri. Ia langsung menjauh dari cermin, kemudian menangis, di dalam kamar. Ia meyakini bahwa di cermin itu bukan bayangannya sendiri.

Kenapa terlihat terlalu tua, kenapa waktu berlalu secepat itu? Kenapa bola mata itu tak secerah dulu. Cahaya itu telah hilang menurutnya. Belum banyak yang dapat ia lakukan. Masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Nampaknya harapan dan cita-cita tetap menjadi angan-angan.

Dimana kebahagiaan itu? Ke mana perginya. Bukankah selama ini ia bertugas memberi kebahagiaan. Apakah bahagia itu hilang bersama orang-orang yang telah ia beri bahagia. Tidakkah bahagia itu terus menempel dalam dirinya ataukah sudah bosan tinggal dalam dirinya.

"Aku ingin bahagia," katanya.

"Di sini tempatnya bahagia," jawab seorang wanita sedikit tua. "Bahkan kamu bisa membahagiakan orang tua dan keluargamu dari sini, disinilah tempatnya surga."

Sejak itu, ia mulai bergumul dalam dunia baru, yang selama ini tak pernah terbersit dalam pikirannya. Awalnya masih ragu, canggung, lama lama biasa dan mulai terbiasa, dan mendapatkan kebahagiaan. 

Kemudian ia menyadari, kebahagiaan itu datang sementara, pergi bersama tamu yang datang. Kemudian ia mencoba mengulanginya, berkali-kali, dan ia tetap belum menemukan kebahagiaan itu lagi. Waktu telah berlalu. Kebahagiaan itu telah habis, kebahagiaan itu telah pergi. Ia menyadari kebahagiaan tidak ada di sini.

Dimana angan dan cita-cita itu? Balik ke desa, membangun rumah, mendirikan usaha warung, hidup bersama anak dan orang tua. Sekarang angan-angan itu sangat klise. Itu semua hanya harapan kosong. 

Ia justru mesti berterima kasih kepada wanita setengah tua itu yang telah menolongnya dan memberinya makan. Penghasilannya hanya cukup untuk memoles apa yang sudah luput karena waktu. Bisa hidup di kota ini, sudah merupakan prestasi jika sehari bisa makan tiga kali.

Biarlah angan itu tetap menjadi angan, kini ia tak lagi berkirim kabar ke desa. Ia ingin mengakhiri hidupnya di kota itu. Ia berharap ada orang yang memberikan kabar kematiannya ke desa. Ia sekarang tak ingin hidup lagi. Ia anggap dirinya sudah mati, sudah tak pantas meraih kemuliaan hidup.

Ia kembali ke cermin tadi, membetulkan penampilannya dan siap melayani tamunya. Tersenyum tanpa bahagia. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun