Maraknya dunia digital yang semakin tidak terkontrol, seringkali umat Islam menjadi target
utama dari serangan informasi yang tidak benar atau hoaks. Banyak berita viral yang beredar
di media sosial mengklaim adanya fatwa baru dari ulama besar yang melarang vaksinasi,
padahal semua itu hanyalah fantasi belaka. Situasi ini bukan hanya menyangkut isu teknis,
tetapi juga merupakan tantangan bagi iman dan tanggung jawab sosial. Kasus-kasus semacam
ini tidak hanya memecah belahkan umat, tetapi juga merusak reputasi Islam sebagai agama
rahmatan lil alamin. Di sinilah pentingnya Komunikasi Profetik sebagai pendekatan yang baru
dan mendalam, yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan pengetahuan modern untuk
menciptakan komunikasi yang etis dan bertanggung jawab.
Komunikasi Profetik bukan konsep yang muncul secara tiba-tiba. Akar pemikirannya
bersumber dari teladan Nabi Muhammad SAW, yang selalu berkomunikasi berdasarkan
kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Dalam konteks modern, Komunikasi Profetik
mengajak kita untuk menyatukan agama dan ilmu pengetahuan, di mana prinsip profetik seperti
amar ma'ruf nahi mungkar menjadi dasar bagi cara berkomunikasi yang humanis. Tiga dimensi
utama yang ditekankan oleh Komunikasi Profetik adalah humanisasi, liberasi, dan
transendensi. Subtopik yang akan kita teliti lebih mendalam di sini adalah etika verifikasi atau
tabayyun, yang merupakan kunci tanggung jawab dalam bermedia di era digital. Tabayyun
tidak hanya sekadar perintah agama, tetapi juga merupakan alat untuk mengaitkan ilmu sosial
profetik dengan kebijakan publik, seperti regulasi media sosial yang berlandaskan maqasid
syariah.
Al-Qur'an secara tegas menginstruksikan umat Islam untuk memverifikasi setiap informasi
yang datang, terutama dari sumber yang meragukan. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 6, Allah
SWT. berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang
kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan
suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu
itu". Ayat ini diturunkan dalam konteks perang dan rumor di Madinah, yang menunjukkan
bahwa etika tabayyun bersifat universal dan tidak hanya berlaku di masa lampau. Nabi SAW
selalu menerapkan prinsip ini dalam tindakan sehari-harinya, termasuk selalu memeriksa keabsahan informasi sebelum mengambil langkah, seperti saat menghadapi isu pengkhianatan
di perang Uhud. Di zaman sekarang, ketika platform seperti Twitter dan TikTok sangat berpengaruh, literasi
algoritmik menjadi elemen penting dalam dakwah digital. Algoritma media sosial sering kali
lebih memilih konten yang sensasional demi meningkatkan keterlibatan, yang malah
mempercepat penyebaran hoaks. Suatu penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Journal
of Communication menemukan bahwa 70% pengguna media sosial di negara berkembang,
termasuk Indonesia, lebih cenderung membagikan berita tanpa melalui proses verifikasi karena
bias konfirmasi, yaitu kecenderungan menerima informasi yang sejalan dengan pandangan
pribadi. Di sinilah Komunikasi Profetik menawarkan solusi dengan memasukkan prinsip
tabayyun ke dalam literasi digital, memungkinkan kita untuk membangun advokasi sosial
bersifat maqasid syariah. Contohnya, organisasi seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
merumuskan pedoman fatwa digital yang menekankan pentingnya verifikasi sumber, selaras
dengan prinsip profetik tersebut.
Etika tabayyun bukan sekadar urusan individu, melainkan juga tanggung jawab kolektif. Dalam
buku Principles of Islamic Communication, penulis mengemukakan bahwa komunikasi
profetik menyoroti tanggung jawab dalam bermedia sebagai bentuk ihsan yang berarti kebaikan
sejati. Setiap Muslim harus menjadi jurnalis profetik yang memastikan penyebaran informasi
memberi manfaat, alih-alih membawa mudarat. Fenomena dakwah digital yang ada saat ini
sangat relevan, di mana para influencer Islam seringkali terjebak dalam konten viral yang
kurang verifikasi. Bayangkan seandainya setiap postingan di platform seperti Instagram atau
YouTube dilengkapi dengan pertanyaan "Sudah Tabayyun? ", ini bisa mengubah landscape
komunikasi antar keyakinan, serta mempromosikan kesejahteraan bersama tanpa memandang
batasan agama.
Namun, di tengah kebijakan publik yang kurang kuat dalam mengatur konten digital,
diperlukan rekontekstualisasi ilmu sosial profetik. Misalnya, dalam pendidikan, institusi
pendidikan Islam bisa mengimplementasikan kurikulum literasi media yang mencakup studi
kasus dari sirah nabawiyah, di mana Nabi SAW menolak rumor tanpa dasar sebagai bentuk
pembebasan dari ketakutan yang tidak berdasar. Hadis dari Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari juga menegaskan ini: "Barangsiapa yang menyebarkan berita palsu, maka
tempatnya di neraka". Pernyataan ini bukan sebuah ancaman, melainkan panggilan untuk
transendensi, yaitu berkomunikasi tidak hanya untuk kepentingan duniawi, tetapi untuk
mendekatkan diri kepada Allah melalui kejujuran.Â
Komunikasi Profetik dengan prinsip etika tabayyun bukanlah hal yang tidak mungkin, tetapi
merupakan pendekatan praktis yang telah terbukti efektif. Di Malaysia, inisiatif "Digital
Dawah" yang berbasis pada ISP telah sukses menurunkan penyebaran berita palsu keagamaan
sebanyak 25% melalui kampanye verifikasi yang dilakukan oleh komunitas. Hal ini
menunjukkan bahwa integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan, seperti menggabungkan
teori komunikasi Lasswell dengan ayat-ayat Al-Qur'an, bisa membentuk paradigma baru yaitu
Ilmu Sosial Profetik yang inklusif dan mudah beradaptasi.
Pada akhirnya, di tengah arus informasi digital yang deras ini, mari kita jadikan teladan profetik
sebagai panduan. Tabayyun seharusnya bukan menjadi beban, melainkan kewajiban yang
membebaskan kita dari jebakan kebohongan. Sebagai umat Islam yang moderat, kita diundang
untuk menjadi agen perubahan. Lakukan verifikasi sebelum membagikan, berdialog sebelum
terlibat dalam debat, dan berdakwah sebelum timbul kontroversi. Dengan cara ini, komunikasi
kita akan tidak hanya bersuara bagi Islam, tetapi juga merealisasikan rahmatnya untuk semua
makhluk. Mari kita mulai dari akun media sosial kita sendiri, ubah ruang digital menjadi ruang
yang adil dan benar. Hanya dengan cara tersebut, kita bisa bergerak menuju masyarakat yang
sejahtera di bawah nilai-nilai profetik.
Â
Referensi
Al-Bukhari, M. (n.d.). Sahih al-Bukhari, Hadith No. 2697.
Al-Mubarakfuri, S. (2002). Ar-Raheeq Al-Makhtum: The Sealed Nectar. Darussalam.
Al-Qur'an. (n.d.). Surah Al-Hujurat (49): 6.
Department of Islamic Development Malaysia (JAKIM). (2021). Evaluation Report on Digital
Dawah Program. JAKIM Publications.
Gillespie, T. (2018). Custodians of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden
Decisions That Shape Social Media. Yale University Press.
Kamali, M. H. (2015). The Parameters of Halal and Haram in Shari'ah and the Halal Industry.
International Institute of Islamic Thought.
Majelis Ulama Indonesia. (2022). Pedoman Fatwa Digital. MUI Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI