Mohon tunggu...
Maria Margaretha
Maria Margaretha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD. Blogger.

Teaching 1...2...3. Knowledge is a power. Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Relawan Pendidikan atau Sinterklass?

7 Desember 2013   21:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:12 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kak, tolong jangan bilang-bilang yang lain ya. Kak, saya bisa pinjam uang? seadanya, anak saya sakit. mau berobat".  SMS ini mengiris hatiku. Karena saat yang sama pekerjaan yang saya jalani adalah freelancer, dengan penghasilan tak menentu. SMS ini dikirim oleh salah satu orang tua anak yang diasuh di sanggar kami. Sore itu, memang bukan hari sanggar kami. Pesan ini mempunyai 2 makna, pertama, jangan ceritakan bahwa dia pinjam uang dan kedua makna pinjam uangnya sendiri. Pesan pertama tentu bisa dengan mudah dilakukan. Pesan kedua ini yang sedikit membuat pusing. Pertama karena aku sedang tidak bekerja, dimana penghasilanku sendiri sangat terbatas. Kedua, jika pesan ini kutanggapi, mengingat anak-anak yang kami layani saat ini berkembang semakin banyak, bagaimana jika ada permintaan serupa yang muncul? Sementara, teman-teman relawan lain juga  bukannya berasal dari keluarga yang cukup mapan. [caption id="attachment_282428" align="aligncenter" width="300" caption="mengajar dengan boneka... Ini menarik buat anak-anak yang minim hiburan, namun juga sarana edukasi. Inilah salah satu kegiatan relawan di awal sanggar ada"][/caption] [caption id="attachment_282429" align="aligncenter" width="300" caption="membawakan cerita sebagai salah satu metode edukasi budi pekerti pada anak-anak "]

13864244651900518114
13864244651900518114
[/caption] [caption id="attachment_282430" align="aligncenter" width="300" caption="Narsis juga ngga dilarang lho, walaupun sebagai relawan... Acara narsis ini bagian dari mendorong keceriaan anak-anak binaan"]
13864248391791637815
13864248391791637815
[/caption] Sore berikutnya, penulis SMS ini datang di sanggar kami dengan pesan serupa, kali ini menyasar pada crew yang kebetulan sedang mendisiplin anaknya yang memang sudah beberapa minggu terakhir ini setiap kali datang ke sanggar selalu meminta perhatian ekstra. Ia menangis di depan rekan relawan itu. Aku sedikit sedih karena tidak bisa membantu. Aku bersimpati, iya. Berempati juga. Sanggar ini, merupakan wadah membagikan kasih dalam bentuk pendidikan. Namun, jika datang permintaan bantuan seperti ini, apa yang harus kami, aku dan teman relawan lain lakukan??? Memberi bantuan tetapi, tidak sesuai dengan kebutuhan dia? atau tidak memberi sama sekali. Pada rekan saya, sepertinya dia juga ada curhat tentang kontrakan rumah-nya, yg belum terbayar (?), sehingga khawatir diusir. Solusiku saat dia SMS adalah menanyakan apakah dia memiliki KTP DKI. Karena, sekarang toh berobat gratis. Namun dia tidak menjawab pertanyaanku itu. Kemarin, ditanya lagi oleh rekanku, barulah dia mengatakan tidak memiliki KTP DKI. Namun, apakah tidak ada solusi? Apakah solusi terbaik? Aku ingin mengunjungi untuk mensurvey lokasi sekaligus mengunjungi beberapa anak sanggar yang dikabarkan sakit. Awal sanggar ini berjalan adalah bakti sosial yang rutin dilakukan di tempat sanggar ini dilakukan. [caption id="attachment_282432" align="aligncenter" width="300" caption="gembira sih bisa menjadi relawan. Mengedukasi dengan rasa kasih tak berhenti hanya dengan memberikan materi, namun pada perhatian dan edukasi"]
1386425173895405281
1386425173895405281
[/caption] [caption id="attachment_282431" align="aligncenter" width="300" caption="menggunting kuku,... edukasi menjaga kebersihan kaki dan tangan"]
13864251051876746399
13864251051876746399
[/caption] Saya tak ingin menjadi sinterklass saat menjadi relawan. Namun menolong mereka juga sangat sukar bila terbatas secara materi. Memberi edukasi cara mendapatkan bantuan dari pemerintah mungkin bisa menjadi jawaban, jika mereka adalah warga ber-KTP DKI, jika tidak? Saat ini, keadaan di sanggar sudah bergeser. Masyarakat yang tadinya memang minus, sekarang memilih tidak lagi mengunjungi kami. Sudah beberapa kali saya mencoba untuk mendekati, tetapi tidak ada kemajuan. Saya mengunjungi dan memberi lebih banyak perhatian. Namun gayung tak bersambut. Jadi relawanpun, kita perlu mereka yang benar-benar membutuhkan dan mau menerima uluran kita bukan? Kalau ternyata memang uluran tangan kita tak bersambut, sebaiknya dievaluasi kembali. Kegiatan menjadi relawan ini menolong saya juga mengembangkan empati. Sanggar kami tetap ramai. Hanya komunitasnya berganti. Anak-anak yang berkunjung kebanyakan berasal dari keluarga mampu yang ingin gratisan. Orang tua dengan gelar sarjana dan sarjana muda, yang anak-anaknya juga sekolah di swasta yang cukup baik. Saya jadi menangis. Kalau sebetulnya sanggar ini didasari impian  membantu masyarakat kurang mampu. Ternyata, banyak warga mampu yang tak sungkan mencari gratisan. Siapa yang mau memberi gratis pada warga mampu? bukan sinterklass kan. (Lagi) Jadi, menjadi relawan itu antara mudah dan sukar. Mudah jika kita, tidak hanya punya idealisme, tetapi juga punya cukup dana. Sukar jika hanya bermodal idealisme, apalagi naluri hitam putih seperti saya. :D Salam cerdas Maria Margaretha

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun