Seri sebelumnya
"Apakah orang tuamu akan menerima pertunangan kita? Memberikan restunya demi masa depan yang kita bangun bersama?" tanyaku.
Menerima utuh keadaanku dan menjadikan bagian dalam hidupmu, mengisi hari penuh tawa bersama, selalu menjadi pertanyaan. Baru kali ini aku sanggup mengucapkannya.
“Ibu dan ayah selalu setuju dengan pilihanku, termasuk memilih perempuan yang akan menjadi ibu bagi anak-anakku kelak, menyiapkan secangkir kopi ketika pagi menjelang, dan menyambutku saat pulang petang,” jawabmu.
Kaugenggam jemariku seolah ingin meyakinkan, bahwa engkau tulus mencintaiku. Diam dan hanyut dalam dekapanmu, denyar menyelinap bersama kehangatan merasuki relung hati. Setelah dahi ini merasakan lebih dulu getar lembut kecupanmu.
Hari yang kaujanjikan untuk datang meminang bersama kedua orang tuamu tiba. Sengaja aku menyiapkan segalanya secara sederhana, tak ingin hujatan menambah kerisauan hati dan kemeriahan menjadi cercaan untuk ke sekian kalinya.
Tak ada yang salah dengan kedatanganmu bersama kedua orang tua. Namun, hal itu menjadi sebab Ibu marah, selalu mencari alasan karena tak menginginkan lelaki lain datang ke rumah setelah kepergian suamiku dulu.
Menantu idaman tak pernah hilang dari ingatannya. Kesempurnaan yang telah melekat menjadikan kefanatikan tak berbatas. Akan sulit bagimu untuk meyakinkan ibuku. Taklukkanlah hati yang telah dibutakan oleh ambisi, raih kepercayan agar semua nyata dalam genggaman.
Maaf, jika Ibu selalu berharap aku mempunyai suami yang mapan. Bergelimang harta dan jabatan terhormat di masyarakat. Aku tahu, hatimu pasti seperti ditusuk belati saat Ibu mengatakan bahwa gaji seorang guru honorer tidaklah cukup untuk menghidupiku dan si kecil. Kamu diam, tetapi hatimu bergemuruh, seperti ombak menggulung di lautan lepas. Itulah dalih Ibu, selalu mencari-cari kekurangan dan kesalahan, aku tak menyangka jika penghasilanmu yang dijadikan alasan. Andai dia tahu, sesungguhnya yang kubutuh adalah kasih dan belai lembutmu.
Aku bisa merasakan bagaimana ayah dan ibumu tercabik perasaannya oleh ungkapan menyakitkan. Melihat putra tunggalnya direndahkan dan tak dihargai di hadapan calon istrinya. Namun, yakinlah itu bukan mauku, tak menyangka Ibu akan berkata seperti itu. Pasti bisikan jahat dan hasutan kejam telah mempengaruhi hati dan pikirannya, disebabkan oleh adikku yang berambisi menjodohkan aku dan lelaki lain yang dikenalnya.