Istilah pendaki FOMO akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan. Penamaan tersebut merujuk pada fenomena maraknya anak muda yang tiba-tiba memiliki keinginan untuk naik gunung. Semua profil sosial media para gen Z saat ini banyak dipenuhi oleh kegiatan mendaki gunung. Sosial media lagi-lagi menjadi salah satu alasan utama para gen Z untuk mencoba hal-hal baru yang belum mereka lakukan sebelumnya. Banyak foto dan video yang bermunculan di sosial media memperlihatkan keindahan alam ketika berada di gunung. Setelah melihat dokumentasi yang luar biasa tersebut, mereka seolah menjadi terinspirasi untuk merasakan keindahan, keseruan, dan kesenangan yang sama. Oleh karenanya, mereka berbondong-bondong ingin untuk mencoba meskipun belum memiliki pengalaman.
Perlu diketahui, bahwa setiap gunung memiliki medan yang berbeda-beda. Setinggi apapun gunungnya, setiap orang akan selalu menjadi pendaki baru jika belum pernah melalui jalurnya. Dalam hal ini, perlu adanya pengetahuan lebih lanjut mengenai ragam bentuk medan jalur dari basecamp hingga ke puncak. Pengamatan dapat dilakukan melalui video perjalanan orang-orang yang telah pernah melakukan pendakian ke gunung yang sama. Hal tersebut sangat membantu para pendaki baru untuk menentukan jenis  persiapan fisik apa saja yang harus dilakukan. Selain itu, harus diketahui pula informasi mengenai estimasi waktu yang diperlukan untuk mendaki suatu gunung. Hal tersebut dapat dijadikan gambaran awal untuk persiapan mental, sehingga tidak lagi merasa terkejut selama melakukan perjalanan.Â
Sebelum melakukan petualangan di alam, tentunya perlu persiapan yang benar-benar matang. Mengingat medan gunung yang seringkali terjal, maka perlu adanya latihan kekuatan otot kaki. Selain itu, otot punggung dan bahu juga perlu dilatih ketahanannya. Dalam hal ini, perlu adanya pembiasaan dalam menahan beban barang keperluan dan logistik untuk bermalam. Latihan fisik tersebut tentu saja harus dilakukan secara rutin, tidak hanya satu, dua, atau tiga kali saja. Tidak ada alasan untuk tidak melakukannya karena dapat dilakukan di rumah hingga lingkungan luar. Saat ini, sudah banyak video-video tutorial mengenai latihan fisik untuk mendaki gunung yang bisa dicoba.Â
Selain fisik, persiapan mental juga perlu diimbangkan. Sangat disayangkan jika fisik kuat namun mental masih lemah. Hal tersebut dapat menyebabkan seorang pendaki menjadi mudah menyerah karena terlalu fokus dengan rasa takut atau lelahnya. Pendaki harus pintar-pintar mencari-cari alasan untuk terus maju selama di jalur pendakian. Seringkali mereka hanya melihat seberapa jauh atau tinggi lagi puncak yang akan dicapainya, padahal langkah yang sedang mereka pijaki saat itu sudah sangat berharga dan luar biasa. Nikmati perlahan setiap dari tempat-tempat yang disinggahi. Letak keberhasilan mendaki gunung bukan pada puncaknya, melainkan bagaimana seseorang mampu menaklukkan diri dan egonya masing-masing selama perjalanan.Â
Dunia pendakian bukan menjadi tempat bagi siapa yang paling. Di sana semua sama-sama belajar bersama. Siapa yang salah diingatkan, siapa yang mumpuni maka seharusnya membantu dan berbagi ilmu. Tidak ada kata sesepuh atau abang-abangan di dunia pendakian. Tidak ada yang salah dengan pendaki FOMO, asal harus tetap dimaksimalkan dengan pengamatan, pengetahun, serta persiapan yang matang. Oleh karenanya, FOMO tersebut akan menjadi hal yang baik dan patut diusahakan. Pendakian tentu saja merupakan salah satu terobosan kegiatan positif bagi gen Z saat ini yang terkenal dengan hobi rebahan dan malas geraknya. Tentu saja trend "pendaki FOMO" ini dapat menjadi hal baru bagi mereka untuk melakukan eksplorasi lebih. Dalam hal ini, tidak ada salahnya untuk menjadi seorang pendaki FOMO. Permasalahan hanya akan menjadi nyata ketika seseorang tidak mau belajar.
Setelah melakukan pendakian pertama, pada umumnya mereka ingin melakukan ekspedisi ke gunung-gunung selanjutnya. Terdapat beberapa hal yang membuat seseorang ingin naik gunung lagi setelah pendakian pertamanya. Selama perjalanan, perlu adanya partner teman yang baik. Bersama merekalah seseorang akan berjuang hingga akhir. Kesetiakawanan kerap sekali diuji di sepanjang jalur. Saling peduli, menjaga, melindungi, dan menunggu antar sesama adalah berkat yang sangat luar biasa ketika di gunung. Tak jarang pula banyak sekali orang asing yang saling peduli selama di jalur. Selain itu, cuaca yang cerah dan bonus view indah menjadi salah satu alasan bagi pendaki untuk mendaki gunung kembali. Berbeda jika seseorang mendaki bersama dengan partner yang mementingkan diri dan ego, juga ketika mendapatkan cuaca yang buruk, maka akan dapat menjadi trauma tersendiri untuk pendakian selanjutnya.
Sebenarnya, banyak sekali pembelajaran yang dapat diambil ketika mendaki gunung. Seseorang lebih dapat mengontrol dirinya ketika di medan pendakian. Semua orang ketika di gunung juga dianggap sama dan setara, tidak ada harta dan pangkat yang perlu disombongkan seperti kehidupan di kota-kota. Setelah sampai puncak dapat membuat pribadi semakin sadar betapa kecil dan tidak ada apa-apanya seseorang ketika sudah di sana. Tidak perlu ada yang dipermasalahkan karena kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan besarnya alam semesta ini. Mendaki gunung memang bukan cara untuk menghilangkan masalah, namun dapat menjadi ruang bagi kita untuk menyadari bahwa ada hal-hal lain yang masih patut untuk dihargai dan disyukuri.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI