Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Giring dan Slam Dunk Kekepoan!

25 Agustus 2020   12:15 Diperbarui: 25 Agustus 2020   22:53 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Melalui terang latar seperti inilah kita seharusnya memandang upaya keras pemerintah dalam mewujudkan Pancasila sebagai haluan negara, sebagai satu-satunya alat pemersatu yang paling berterima dan muwakil seluruh komponen masyarakat, bukan dari cara pandang penuh prasangka untuk mengganti atau mengubah atau bahkan melecehkan ideologi tertentu.

Demi terpenuhi upaya strategis untuk terwujudnya persatuan yang lebih kokoh dan menyeluruh dari bangsa besar berbhineka, apa pun caranya layak kita perjuangkan; apalagi di era milenia yang deras perubahan fundamentalnya, maka kebutuhan akan sarana pemersatu ideologis itu kian mendesak, karena kita semakin dihadapkan pada banyak tuntutan  yang mengarah pada peningkatan drastis daya inovatif dan kreatif. 

Maka pertanyaan yang muncul dari benak penulis :"Apakah dalam era seperti ini kita dibenarkan untuk terus bersikukuh pada prinsip yang mungkin sudah kurang relevan? Pemerasan Pancasila jadi eka atau tri -sila semestinya dilihat dalam perspektif ini, sebagaimana pada awal lahirnya, 

Pancasila pun merupakan produk dinamis diskusi atau seminar yang menawarkan ragam alternatif; bukan untuk mengubah Pancasila melainkan untuk memperoleh intisari pesan yang terkandung di dalamnya.

Agar lebih relevan dengan tuntutan perubahan jaman yang mulai lelah dengan kegaduhan akibat rumitnya birokrasi topeng-topeng ideologi di negeri kaya perbedaan ini, agar mengurangi potensi friksi dari wacana-wacana yang mengancam persatuan dan yang bersumber dari sila-sila yang dianggap sudah kurang relevan untuk selalu dipolemikkan.

Bahkan sila-sila yang sudah kurang relevan itu dijadikan sasaran atau bahan atau alat untuk dapat memicu perpecahan di antara anak sebangsa; lebih ironus lagi, sila-sila yang sudah kurang relevan tersebut dilecehkan lewat kaca-mata perbandingan atau pertentangan makna preferensi dengan aspek-aspek dalam ideologi-ideologi lain. 

Jadi, justru mereka yang sangat menghormati Pancasila-lah yang ingin menyelamatkan Pancasila dari ragam rupa "pelecehan" sebagai cara provokasi pemecah-belah bangsa, dan mereka yang berteguh pada obsesi orisi nalitas bentuk rupa, dan hanya diam ketika terjadi ulah pelecehan.

Lalu berdalih Pancasila itu yang terpenting amalannya; bila benar dalihnya demikian, dan Pancasila dipahami seperti jimat historis yang hanya layak disimpan dalam peti es; mengapa bentuk formal diubah sedikit sudah seperti pemimpin kebakaran jenggot? 

Ini seperti penganut sikap kontradiktif ala munaf(ik); mengapa kita tidak belajar dari para penganut Katolik yang berpegang pada intisari pemaknaan ajaran Tuhan daripada ribut-ribut aturan formal permukaan?

Meskipun sikap mereka (kaum Katolik) juga merupakan bagian tanggapan dari sejarah kelam masa lampau, tapi setidaknya kita bisa memetik hikmah masa lampau era abad kegelapannya. Kekinian mereka saat ini lebih bertopang pada masalah fundamen iman yakni spiritualitas, alih-alih pada formalitas agama dan atau ideologi yang rentan disulap jadi ideologi politik. 

Contoh konkrit dari kasus perjuangan berat para ulama Katolikbyang memihak demokrasi alih-alih menonjolkan kuasa gerejanya adalah Francisco de Vitoria; beliau dikenal sebagai pejuang pembela kaum "unbeliever" (kafir) dengan adagium terkenalnya  :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun