Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Radikalitas Alur Tunggal Imajiner

9 Agustus 2020   12:05 Diperbarui: 9 Agustus 2020   11:58 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini, penulis membaca sebuah artikel yang cukup berbobot dan padat serta jauh menjangkau ke depan tentang masa depan politisi dan politik di era futuristik yang masih dalam cengkeraman pandemi covid. 

Pada satu pihak, penulis tersebut membayangkan implikasi kemajuan teknologi gelombang 4 dan seterusnya terhadap ilmu politik dan politisi, yang menurutnya, kian mengerucut ke arah puncak dominasi atau pengunggulan faktor kecerdasan (dan pemimpin identik dengan yang tercerdas), dengan asumsi pandemi covid masih tetap mencongkolkan cengkeramannya.

Dari uraiannya yang, pada satu pihak, bersifat super optimis sekaligus, di lain pihak, bersifat ultra pesimis, dan merambah hanya pada satu alur atau "track" asumsi; maka, maaf, penulis langsung dapat menebak bahwa si pembuat artikel merupakan sosok saintis bidang ilmu politik yang kurang atau bahkan tidak pernah atau tidak terbiasa dengan pertanyaan yang bersifat filosofis. 

Ada satu kejanggalan atau ketimpangan fatal dalam asumsi paparannya yang setiap pembaca cermat akan segera paham. Ketimpangan fatal asumsinya adalah optimisme berlebihan pada kemajuan iptek, di satu pihak, dan asumsi tentang stagnasi ketakbedayaan kemajuan iptek untuk mengatasi cengkeraman pandemi covid. 

Bila benar, semua asumsi beliau tentang canggih dan pesatnya kemajuan iptek, pertanyaan kritisnya, mengapa asumsi kemajuan itu berpatok hanya pada kondisi stagnan pandemi covid? Ironis khan?! Atau memang gaya pemikirannya merupakan produk pendidikan  robotik berdimensi tunggal? Proses pendidikan yang tidak pernah berani mempertanyakan realitas secara utuh, atau secara lebih multi-dimensi,  tentunya akan menghasilkan gaya pemikiran radikal satu track atau alur; tidak peduli bidang ilmu apapun yang dikajinya.

Dari gaya pemikirannya yang "single track", kesesatan terawal dari pemaparannya adalah asumsi bahwa sains politik setara dan sebangun dengan "hardcore science" kain, seperti fisika dan kawan-kawannya. Anehnya, seturut pengetahuanku, ilmu politik selalu menonjolkan pendekatan sosial alih -alih keperilakuan. 

Hanya segmen tertentu dari ilmu politik yang menonjolkan aspek behavioral, seperti administrasi negara atau hubungan internasional. Artinya, sudah sejak awal, semestinya, seorang ilmuwan politik dapat memandang fenomena kemajuan sebagai fenomena sosial yang diliputi saling keterpengaruhan oleh ragam faktor; bahkan pandangan multidimensi ini pun sudah mulai di akui di ranah "hardcore sciences", meskipun tidak dapat dibilang identik tren pada kedua jenis ilmu tersebut terkait aspek multidimensionalitasnya.

Keganjilan gaya pemikiran tunggal seperti ini akan kian gamblang dan jelas sekali terlihat ketika produk imajinernya dipaparkan. Pada dasarnya, politik itu adalah dinamika dominasi terkait hasrat dan pengelolaannya. Secanggih apa pun kemajuan teknologi, selama teknologi masih ada dalam ranah sosial dan punya tujuan bersifat sosial, selama itu pula politik dan politisi tidak dapat direduksi hanya sebagai pemimpin super-cerdas. 

Kemajuan teknologi tidak bergerak di hampa udara, apalagi hanya berpatok pada satu alur. Teknologi maju, hasrat pun kian rumit! Jaman dahulu, untuk memuaskan hasrat seks, orang cukup kawin di usia dini. Selesai. Jaman sekarang, bila banyak yang kawin di usia dini, selain meningkatkan kasus perceraian juga memultiplikasi berlipat-kali angka anak terlantar dan angka kemiskinan. Jadi, cobalah sedikit berani berpetualang dalam kuriositas, jangan satu kitab dikukuhi terus-menerus. Terima-kasih!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun