Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ibas dan Amin Rais

9 Agustus 2020   08:49 Diperbarui: 9 Agustus 2020   08:41 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini penulis agak terhenyak dengan cukup gencarnya pemberitaan tentang jurus kipas-mengipas dari sang putera dinasti bpk. Susilo Bambang Yudhoyono. Saudara Ibas melontarkan pernyataan yang isinya tentang perbandingan kondisi ekonomi bangsa di antara dua dinasti, dinasti yang kekinian dan yang lampau lengkap dengan sertaan kontroversi dramatisasi politisnya.

Sebagai salah seorang aktor atau mantan aktor politik, pernyataan beliau sah-sah saja karena bertolak dan sarat dengan kepentingan dinastinya. Yang lebih penting adalah bagaimana kita memaknai pernyataannya tersebut secara berimbang dan relevan dengan keseluruhan kondisi yang menjadi pemicu dinamika tuntutan atau permintaan masyarakat (ekonomi politik) kekinian. 

Jadi titik tekan ada pada penjabaran dinamika ekonomi politik yang melingkupinya, bukan pada perbandingan telanjang di antara dua potret atau tangkapan gambar yang statis. Mengapa demikian? Karena keputusan penilaian terkait kondisi ekonomi pada saat tertentu berkelindan dengan banyak faktor lain yang saling berpengaruh. 

Tidak perlu jauh-jauh membandingkan kondisi ekonomi di antara dua perioda dinasti yang berbeda, cukup membandingkan kondisi ekonomi dalam masa kuasa satu dinasti pun menuntut paparan penjelasan dinamikanya sendiri; kondisi ekonomi masa awal bpk Jokowi berkuasa tidak dapat begitu saja diperbandingkan dengan kondisi ekonomi era kekinian yang sangat suram karena dampak global pandemi meskipun masih dalam rentang masa kekuasaan beliau. 

Jadi, penjelasan dari pernyataan saudara Ibas-lah yang layak kita kritisi; karena pernyataannya tersebut menuntut konfirmasi dari sumber-sumber handal yang jelas-jelas bukan ranah kompetensi saudara Ibas yang mantan aktor politik. Alangkah lebih baik, bila sebagai pembaca berita yang kritis kita mempertanyakan motif beliau (nekat) mengeluarkan pernyataan yang jelas berada jauh di luar kompetensinya. 

Sebagai contoh gamblang, penulis membandingkan saudara Ibas yang secara dadakan menjadi kritikus kondisi ekonomi dengan tokoh "bangkotan" pengkritisi politik nan-kritis dan cukup radikal yaitu bpk Amin Rais. Pernahkah bpk. Amin Rais dalam kritik kritisnya membandingkan dua potret kondisi ekonomi dari dua dinasti tanpa merujuk pada sumber-sumber lain yang lebih kompeten? 

Sekontroversial apapun kritik bpk.Amin Rais, kritiknya selalu hanya menonjolkan persoalan legitimasi kekuasaan dan itupun dengan pertimbangan secara holistis dalam rangka atau konteks kebangsaan, meskipun dari sudut alur ideologis yang berbeda. Pada saat negeri ini sedang dalam masa disorientasi menghadapi pandemi covid, pernahkah beliau berkomentar kritis tanpa menawarkan solusi alternatif? 

Sekeras-kerasnya  bapak Amin Rais dalam setiap kancah pergumulan politik dengan penguasa, satu hal yang harus kita hargai adalah jiwa ksatria yang tidak suka memanfaatkan kondisi terpuruk lawannya yang sedang mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan, sebagai mitra tanding sepadannya. 

Ia (bpk. Amin Rais)  bukan seperti Mike Tyson yang frustrasi dalam kancah dan lalu membawa gejolak frustrasi ke luar ranah dengan menyasar ke semua obyek pelampiasan secara membabi-buta. Dari sudut inilah kita, generasi muda semuda saudara Ibas, dapat belajar banyak dari beliau.

Bila kita cermati konteks dinamika politik di era dinasti SBY, setidaknya setahu penulis, yang paling menonjol adalah sikap pembiaran dalam topeng demokrasi; yang ujung-ujungnya lebih menguntungkan elit penguasa atau pemodal, dan bertebaranlah slogan negara dengan mekanisme "otopilot". 

Tidak heran, rezim seperti ini akan menonjolkan kebijakan-kebijakan politis yang populistis sekaligus membodohkan, karena peran pemimpin hanya sebagai pemuas libido rakyat; tanpa peta jalan atau alur tahapan kebijakan pembangunan. Nilai sistemik dari dinasti ini adalah kebalikan radikal dari nilai sistemik rezim dinasti bpk Soeharto yang mengutamakan pembangunan di atas segalanya. Sedangkan nilai sistemik rezim Jokowi adalah jalan tengah di antara kedua nilai sistemik di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun