Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Arti Penting SDM di Masa Krisis Nasional

4 Agustus 2020   09:44 Diperbarui: 4 Agustus 2020   09:37 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Faktor penting berikutnya adalah "keterbukaan" dari berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Aspek kritis dari faktor ini, setidaknya menurut penulis, adalah keterbukaan akan kelebihan dam kekurangan.  Selama ini yang paling banyak didengungkan adalah ukuran keberhasilan standar nasional yang berdasarkan norma statistik baku. 

Sejauh berbicara tentang standar baku nasional sebenarnya kita hanya bicara tentang input dan output : Apakah outputnya sudah sesuai standar dengan standar input yang diberikan? Sejauh mana penyimpangannya? Apa saja penyebab atau faktor yang mempengaruhi penyimpangan output dari standar input? Apakah inputnya sudah sesuai standar,? Dan seterusnya! 

Artinya, pembelajar hanya diasumsikan sebagai pencetus output berdasarkan input. Masalahnya apakah sistem seperti ini menjawab persoalan pendidikan yang menuntut pembelajar atau pengajar memunculkan output dengan input alakadarnya atau bahkan tanpa input sama sekali mereka harus menciptakan output yang bahkan dapat menghasilkan input baru. 

Jauh sekali diskrepansi (jurang perbedaan) di antara kedua proses tersebut. Yang pertama prosesnya seperti pabrik pencipta robotik sedangkan yang kedua kondisi riil di kancah pendidikan. Bukan salah metodologi, melainkan kesalahan kita dalam memutlakkan metodologi, sehingga melenakan kita hanya berpatok  pada hasil evaluasi baku standar. 

Ujian nasional mutlak untuk evaluasi standar pendidikan! Sebenarnya yang lebih tepat evaluasi standar minimal pada setiap sekolah, dan standar minimal tidak harus dimutlakkan karena hanya berbasis input. Tapi bagaimana dengan alokasi bantuan atau perlakuan lain bila tanpa standar baku? Bagaimana kita membandingkan sekolah satu dan yang lain yang sejenis?

Menurut hemat penulis ada dua tahap, pertama desentralisasi dan kedua norma hanya pada output atau keluaran hasil akhir. Cara ini rentan terjadi pemusatan wewenang pada pendidik, tapi inilah resiko yang harus kita terima dengan lapang-dada. 

Apa gunanya menghasilkan tenaga pendidik bertahun-tahun bila hanya untuk berperan sebagai operator? Selain itu kita dapat meminimalisasikan terjadinya kesewenangan di pihak pendidik dengan memberdayakan peran kepala-sekolah dan perkumpulan ortu-siswa serta peningkatan dan evaluasi intensitas komunikasi di antara semua pihak (pengajar, pembelajar, kepala-sekolah, dan ortu-siswa). 

Tak ada lagi alasan kendala komunikasi tanpa sepengetahuan dan sepenerimaan di antara mereka. Semua ini menuntut pemikiran matang dan perencanaan menyeluruh yang terarah pada aksi, tapi yang lebih mendasar adalah sikap lapang-hati, dan keterbukaan serta keberanian untuk mewujudkan atau merealisasikan. 

Semoga ada lebih banyak masukan, dan janganlah kita sia-siakan potensi sebenarnya dari para guru. Mereka tak hanya butuh seminar, kursus, dan lain-lain, yang lebih utama yang mereka butuhkan adalah kancah untuk merealisasikan keguruan mereka alih-alih kepiawaian administratif. Terima-kasih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun