Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Arti Penting SDM di Masa Krisis Nasional

4 Agustus 2020   09:44 Diperbarui: 4 Agustus 2020   09:37 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bila berbicara tentang SDM , kita tak mungkin lepas dari persoalan budaya. Mengapa Cina demikian kecewa dengan sikap Inggris yang ingin menampung warga Hongkong, toh di negerinya sudah berlimpah tenaga manusia, mengapa harus repot dengan kehilangan sejumlah warga Hongkong yang selalu membantah? Jawabnya hanya satu, SDM yang handal tak mudah dihasilkan. 

Menghasilkan SDM handal bukan semata karena kecanggihan penguasaan teknologi, melainkan yang tak kalah pentingnya adalah masalah  pemerolehan nilai-nilai integratif yang akan menjamin etos pemeliharaan, peneguhan dan penekunan baik secara individu maupun kolektif. 

Pengalaman masa lampau kita di ranah SDM adalah mimpi buruk yang berkelindan persoalan politik praktis. Hasil dari mimpi buruk itu adalah tersia-sianya banyak tenaga terdidik bangsa yang terlempar ke mancanegara.

Mereka terpaksa harus memilih hidup di negeri asing, dan untuk memulihkan kondisi itu tidak hanya menyangkut cara memulangkan mereka, melainkan juga cara bagaimana agar mereka kembali berminat ke negeri asal ketika hidup di negeri asing sudah menjadi bagian dari standar hidupnya? 

Apakah kembali ke tanah-air akan menjamin kebutuhan dasar dari standar mereka terkini? Apakah kehidupan kolektif intelektual di negeri asal sebanding dengan kehidupan kolektif mereka di sana? Masih berminatkah mereka kembali ke negeri asal yang masih selalu gaduh dengan persoalan politik gamis? Itulah persoalan intinya, persoalan yang kembali menohok kita.

Untuk melahirkan SDM handal secara relatif cepat di masa krisis, hal mutlak pertama yang harus dipenuhi adalah "kelapangan-hati". Isu awal yang paling gencar di media massa adalah kekerdilan diri yang penuh prasangka pada pihak swasta yang telah lama ikut berkiprah di ranah pendidikan. 

Tuduhannya, pihak swasta yang telah kaya tidak berhak memperolah bantuan dana anggaran pemerintah yang teralokasikan di bidang pendidikan. Bahkan kata tidak empatis diputar balikkan ke arah pemerintah.

Empatis sekali bangsa ini ketika semua masalah semata dikembalikan ke persoalan pembagian jatah dana cair, dan membutakan mata pada peran kontribusi swasta yang telah ikut berkiprah. Bayangkan, seandainya penulis berposisi sebagai pihak swasta dan telah lama berkiprah dan sukses memberikan kontribusi jasa pendidikan. 

Apakah aneh, bila kesuksesan programnya hendak diperluas dan perluasan itu membutuhkan dukungan dana dan kerjasama dengan pemerintah? Apakah pemerintah salah karena telah membantu proyek swasta yang telah terbukti lebih unggul dari program pemerintah (Depdikbud). Terlebih mengingat kondisi krisis kekinian yang sedang menuntut kesegeraan, terobosan visi dan kehandalan pada peran kebijakan pemerintah. 

Apakah dalam masa krisis seperti ini masih layak bagi pemerintah untuk mengambil langkah kebijakan konvensional yang harus memilah-milah dan menggantungkan diri pada peran kesejarahan dari satu dua pihak alih-alih berdasarkan prosedur obyektif pilihan program yang sejalan dengan tuntutan aktual kebaruan dari sang krisis. 

Mana yang lebih tidak empatik, pemerintah yang berpatok pada persoalan aktual atau pihak lain yang bertonggakkan  keadilan jatah anggaran dari nilai peran kesejarahannya? Mohon direnungkan sendiri dan diputuskan sejauh mana kelapangan-hati para aktor utama kesejarahan di bidang pendidikan.

Faktor penting berikutnya adalah "keterbukaan" dari berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Aspek kritis dari faktor ini, setidaknya menurut penulis, adalah keterbukaan akan kelebihan dam kekurangan.  Selama ini yang paling banyak didengungkan adalah ukuran keberhasilan standar nasional yang berdasarkan norma statistik baku. 

Sejauh berbicara tentang standar baku nasional sebenarnya kita hanya bicara tentang input dan output : Apakah outputnya sudah sesuai standar dengan standar input yang diberikan? Sejauh mana penyimpangannya? Apa saja penyebab atau faktor yang mempengaruhi penyimpangan output dari standar input? Apakah inputnya sudah sesuai standar,? Dan seterusnya! 

Artinya, pembelajar hanya diasumsikan sebagai pencetus output berdasarkan input. Masalahnya apakah sistem seperti ini menjawab persoalan pendidikan yang menuntut pembelajar atau pengajar memunculkan output dengan input alakadarnya atau bahkan tanpa input sama sekali mereka harus menciptakan output yang bahkan dapat menghasilkan input baru. 

Jauh sekali diskrepansi (jurang perbedaan) di antara kedua proses tersebut. Yang pertama prosesnya seperti pabrik pencipta robotik sedangkan yang kedua kondisi riil di kancah pendidikan. Bukan salah metodologi, melainkan kesalahan kita dalam memutlakkan metodologi, sehingga melenakan kita hanya berpatok  pada hasil evaluasi baku standar. 

Ujian nasional mutlak untuk evaluasi standar pendidikan! Sebenarnya yang lebih tepat evaluasi standar minimal pada setiap sekolah, dan standar minimal tidak harus dimutlakkan karena hanya berbasis input. Tapi bagaimana dengan alokasi bantuan atau perlakuan lain bila tanpa standar baku? Bagaimana kita membandingkan sekolah satu dan yang lain yang sejenis?

Menurut hemat penulis ada dua tahap, pertama desentralisasi dan kedua norma hanya pada output atau keluaran hasil akhir. Cara ini rentan terjadi pemusatan wewenang pada pendidik, tapi inilah resiko yang harus kita terima dengan lapang-dada. 

Apa gunanya menghasilkan tenaga pendidik bertahun-tahun bila hanya untuk berperan sebagai operator? Selain itu kita dapat meminimalisasikan terjadinya kesewenangan di pihak pendidik dengan memberdayakan peran kepala-sekolah dan perkumpulan ortu-siswa serta peningkatan dan evaluasi intensitas komunikasi di antara semua pihak (pengajar, pembelajar, kepala-sekolah, dan ortu-siswa). 

Tak ada lagi alasan kendala komunikasi tanpa sepengetahuan dan sepenerimaan di antara mereka. Semua ini menuntut pemikiran matang dan perencanaan menyeluruh yang terarah pada aksi, tapi yang lebih mendasar adalah sikap lapang-hati, dan keterbukaan serta keberanian untuk mewujudkan atau merealisasikan. 

Semoga ada lebih banyak masukan, dan janganlah kita sia-siakan potensi sebenarnya dari para guru. Mereka tak hanya butuh seminar, kursus, dan lain-lain, yang lebih utama yang mereka butuhkan adalah kancah untuk merealisasikan keguruan mereka alih-alih kepiawaian administratif. Terima-kasih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun