Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setan Kebenaran

10 Maret 2019   11:46 Diperbarui: 10 Maret 2019   11:53 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SETAN KEBENARAN


Salah seorang teman seperjalanan pernah secara sambil lalu mengajukan pertanyaan sederhana yang cukup mengesankanku.


"Ton, apa atau bagaimana sih cinta/kasih sederhana itu?"


Sejenak kutercenung dengan pertanyaan tentang kesederhanaan yang dilekatkan atau dikaitkan pada hal yang (setidaknya  menurutku) sangat tidak sederhana. Bahkan sangat rumit! Karena saat kita mulai mencintai atau mengasihi seseorang secara tulus dan sederhana, ketika itu jugalah kita mengalami revolusi dialektis total kedirian. F

okus keterarahan diri, mendadak berbalik 180 derajat dan ini menyebabkan goncangan keseimbangan pada keseluruhan aspek lahir maupun batin. Peningkatan intensitas fokus keterarahan hanya pada subyek atau obyek yang dicinta, kemungkinan besar akan melonjakkan tingkat daya kreasi sang pecinta (dan yang dicintai). 

Inilah ciri khas utama yang membedakan antara hasrat si pecinta dengan hasrat si pencari kebenaran. Yang pertama meluruhkan ego (melalui proses menjadi) sedang yang kedua mengukuhkan ego (melalui proses peneguhan identitas kepemilikan).

Kembali ke masalah kesederhanaan cinta, aspek kritisnya menurutku ada pada kehendak untuk berempati. Apa sih empati itu? Banyak definisi yang dibuat terkait empati, tapi yang paling relevan adalah bahwa empati itu kesediaan untuk menerima totalitas liyan tanpa reserve. Bak sinar mentari yang menopang tumbuh kembang tanaman tanpa syarat dan pandang bulu.

 Contoh paling relevan dari empati dan tan empati dapat kita temui dalam ragam komentar (kritik) terkini terkait pilpres di medsos. Kritik yang disertai daya empati adalah kritik yang muncul dari pemahaman total pada subyek atau obyek kritikannya. 

Kritik pada tataran ini tidak sekedar mencari kelemahan aktual yang ada pada sasaran kritik, melainkan mengambil sudut pandang sasaran kritk, mengkaji kesahihan permasalahan berdasar sudut pandang tersebut, baru kemudian membandingkan efektivitasnya dengan ragam alternatif versi si pengkritik. 

Jadi kritiknya bertujuan untuk menemukan solusi terbaik demi keseluruhan entitas, bukan sekedar untuk melemahkan lawan dan mengukuhkan pendapatnya sendiri. Kritik di medsos jadi tidak sehat karena bertolak dari asumsi kritik nir-empatik yaitu asumsi bahwa setiap pertentangan akan menghasilkan kematangan. 

Menurutku ini kurang tepat, pertentangan tak akan melahirkan kematangan, bahkan sebaliknya akan memunculkan kekerdilan. Pertentangan yang menghasilkan kematangan adalah pertentangan yang memunculkan sintesa, yaitu pertentangan organik (atau empatik) alih-alih pertentangan segmental atau parsial. 

Pertentangan organik hanya mungkin terjadi bila pertentangan tersebut berlandaskan kesepahaman, dan kesepahaman hanya mungkin bila kedua pihak dapat melampaui hasrat pembenaran diri sendiri. Akhirnya, pelampauan tersrbut hanya mungkin, bila kedua belah pihak mau membuka hati alih alih menonjolkan akal yang cenderung parsia

Dengan demikian, si pecinta yang digelorakan oleh kasih nan tulus dan bersahaja akan menemukan kebenaran, walaupun dengan tampang yang paling konyol (wajah "gunung kidul?"), dan meski hanya bertolak dari lingkungan terdekatnya, seperti keluarga (alangkah konyol bila ada yg mempertentangkan ranah keluarga dengan ranah negara! Di AS pun, presiden terpilih harus dari keluarga terhormat; kecuali tren akhir-akhir ini yang sudah terdistorsi oleh gelegak hasrat populisme).


Sedangkan bagi si pencari atau penghasrat kebenaran, bila ia tidak dilambari oleh motif atau gelora kasih sang pecinta, maka ia hanya akan terjerat oleh jebakan setan kebenaran,  dan hanya akan terpaku (terfiksasi) serta mabuk pemutlakan kebenaran (yang sejatinya selalu bersifat parsial atau tan-utuh), dan lupa bahwa sifat teragung-Nya adalah maha Kasih alih-alih maha Benar.


Siapa atau apa sih setan kebenaran itu? Konon, mereka ini termasuk setan kelas atas, atau setan elit. Bila setan kelas lebih rendah berlindung di balik tameng hasrat kenikmatan duniawi semata, maka setan kelas elit berlindung di balik kebenaran supra duniawi yang dikeramatkan dan dimutlakkan. Target provokasi mereka terutama pada orang yang miskin atau lemah daya kasih. Orang dengan sifat egoisme yang kuat akan sangat rentan terjebak oleh provokasi setan kebenaran. 

Bagi mereka yang sudah terprovokasi oleh hasutan setan kebenaran, maka Tuhan hanya dipuja dan diyakini sebagai sang Sumber Kebenaran. Siapa pun yang menguasai artefak sabda kebenaran-Nya, diyakini sebagai pemeroleh berkat kebenaran final-Nya yang harus diistimewakan dan diberi kedudukan lebih tinggi dari golongan lain. 

Mereka merasa bahwa hanya keyakinan mereka sajalah yang memperoleh kebenaran utuh dan final dari -Nya. Mereka juga merasa bahwa sekedar identitas (yang diyakini akan menjamin pencapaian kebenaran ultim- ya) cukup untuk mengklaim liyan sebagai pihak lain yang masih membutuhkan pencerahan seturut versi keyakinannya sendiri.


Karakteristik kedua dari setan kebenaran adalah kegemaran (atau kemabukan) mereka pada penonjolan identitas golongan. Kata sakti mereka adalah semua ungkapan yang menonjolkan perbedaan (seperti "domba yang sesat", "kafir", dsb.).

Sebenarnya, kata sakti tersebut tidak akan memunculkan masalah sejauh pengucapannya tidak disertai dengan hasrat untuk menonjolkan keistimewaan identitas golongannya sendiri dan enggan mengakui keyakinan liyan sebagai kemungkinan ungkapan kebenaran ultim versi lain-Nya.
(Tuhan toh berhak dan berkuasa untuk menyingkapkan misteri ultim-Nya dengan tema kebenaran berbeda sesuai dengan karakteristik atau kebersejarahan kelompok atau masyarakat tertentu)


Himbauan untuk meminimalisasi penggunaan perbendaharaan kata yang sarat dengan hasrat penonjolan identitas, lebih dimaksudkan agar si pengucap terbebas dari perangkap setan kebenaran dan dengan demikian terselamatkan dari jalur sesat yang menjauhi sifat teragung-Nya yakni Yang Maha Pengasih!
Sayangnya, upaya pengendalian frasa atau kata sarat penonjolan keberidentitas pun sekedar ditanggapi sebagai penyesat kebenaran alih-alih sebagai petunjuk terang Kasih-Nya!


Btw., memang tak mudah mengurai kebenaran-Nya dari kebenaran politik golongan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun