Di masa Ahok inovasi digital luar biasa maju, bahkan Ahok menciptakan apa yang disebut "Qlue" yang amat diminati warga DKI Jakarta, kemudian dibiarkan menghilang.
Anies bahkan melakukan politik pemberian IMB di Pantai Indah Kapuk sebuah upaya kasar dalam mengabaikan janji-janji politiknya.
Inilah yang banyak membuat marah para pendukung Ahok dan para pemerhati DKI Jakarta, selain masalah patung bambu "Getah Getih" yang diledek rakyat sebagai "Bambu Kelonan", lalu aksi panggung Anies Baswedan yang mencoba gagah dengan bahasa Inggris-nya tapi dinilai warga DKI Jakarta malah keasikan pergi ke luar negeri, beda dengan Ahok yang tekun di DKI Jakarta, dimana pagi-nya menerima warga DKI Jakarta berkeluh kesah, lalu membuat politik kebijakan yang transparan sampai rapat rapat di Kantor Gubernur dibuat terbuka dan ada rekaman youtube-nya.
Jelas Anies Baswedan, adalah bagian dari kontraproduksi dari sebuah upaya pembaharuan politik.
Operasi Politik "Nasi Kebuli" Surya Paloh
Berbeda dengan Megawati yang menyajikan nasi goreng andalan pada Prabowo sebagai manisnya pertemuan politik. Surya Paloh diledek netizen seakan akan memberikan 'nasi kebuli' pada Anies Baswedan.
Bisa juga apa yang dilakukan Surya Paloh adalah sebuah operasi politik nasi kebuli untuk menandingi 'ingatan kolektif' masyarakat soal 'nasi goreng megawati'.
Namun yang pasti apa yang dilakukan Surya Paloh pada 24 Juli 2019 kepada Anies Baswedan justru memberikan angin segar bagi kelompok Anies Baswedan yang telah menikmati politik identitas.Â
Sengaja atau tidak sengaja Surya Paloh justru membangkitkan kekuatan Anies Baswedan dimana kekuatan itu adalah antitesis dari "Pembaharuan Politik" dimana Jokowi, Ahok, Djarot, Risma, Ganjar, Nurdin Abdullah, Azwar Anas, Hasto Wardoyo ataupun Ridwan Kamil menjadi gerbong besar dalam pembaharuan politik yang tumbuh dari kejeniusan membangun daerah.
Apa yang dilakukan Surya Paloh memang sebuah "Politik Pragmatis", ini seperti ketika kubu Surya Paloh menghadang Djarot di Sumatera Utara. Padahal Djarot adalah bagian dari Gerakan Pembaharuan Politik sekarang kondisi Sumatera Utara tidak ada gebrakan seperti masa gebrakan Jokowi-Ahok dan semasa Djarot seperti memperbaiki tata kota Blitar.
Di sinilah kita harus memaknai bahwa berpolitik itu bukan sekadar saling rebutan kekuasaan, tapi sebuah usaha penuh kesabaran membangun peradaban politik.