Mohon tunggu...
Anton DH Nugrahanto
Anton DH Nugrahanto Mohon Tunggu... Administrasi - "Untung Ada Saya"

Sukarnois

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Di Balik Kelambu Kemelut Garuda

5 Juli 2019   18:41 Diperbarui: 17 Juli 2019   21:17 17068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat Boeing 747-400 milik Garuda Indonesia di Bandara Soekarno-Hatta (KOMPAS.com/ACHMAD FAUZI)

Pesawat Garuda sedang parkir di bandara (Sumber Gambar : Digination.id)
Pesawat Garuda sedang parkir di bandara (Sumber Gambar : Digination.id)

Garuda juga menjadi pertaruhan besar bagi Pemerintahan Jokowi dalam mengembangkan "Persepsi Posisi Negara" dalam kancah geopolitik.  Para pengamat industri penerbangan juga para analis analis saham di Pasar Modal mengerti posisi emosional Garuda bagi orang Indonesia adalah intangible asset sangat tinggi sekali. Maskapai Garuda bagi orang Indonesia adalah "Nasionalisme itu sendiri", sebuah pesan pembawa bendera merah putih di sepenjuru dunia. 

Di jaman Jokowi, BUMN mendapatkan pengawasan ketat sehingga tidak ada lagi BUMN menjadi cash cow (sapi perah) bagi para pemain politik. Penempatan CEO --CEO didasarkan pada kemampuan profesional,  sehingga ketika Ari Ashkara naik, maka saham Garuda melejit cepat dari posisi Rp. 230,- melejit sampai posisi Rp. 635,- sebelum kemudian ada semacam "kambing hitam" perbedaan interpretasi laporan keuangan yang kemudian menjadi bernuansa politis.

Persoalan Garuda hanya pada "berantakannya manajemen" dan ketidakjelasan arah perusahaan, juga banyaknya "tikus-tikus" yang bermain di pengadaan sehingga Garuda tidak efisien, artinya Garuda ini punya prospek jangka panjang bila CEO-nya mampu membereskan soal itu. 

Kasus Emir Satar, eks Dirut Garuda menjelaskan bagaimana tikus-tikus bagian pengadaan bermain sangat ganas, ditambah lagi beban berat Garuda di masa lalu sebagai perusahaan sapi perah para pemain rente dan politisi sehingga harga sahamnya saja sangat jelek, bagaimana bisa sebuah perusahaan yang jadi etalase Republik,  lebih murah dari harga tahu sumedang. Inilah yang menjadi basis pemikiran Jokowi merestrukturisasi Garuda sebagai "Perusahaan Etalase Republik". 

Pola pembangunan Jokowi yang berbasis konektivitas Nusantara dan terciptanya wilayah wilayah perkembangan baru,  jelas membutuhkan maskapai penerbangan yang bisa menjadi motor atas konektivitas itu, dan Garuda menjadi sentral penting atas peran itu. 

Harga saham Garuda sekarang jelas kelewat murah (underprice) bila dikorelasikan dengan visi Jokowi, dimana politik perpindahan ibukota dan politik tata ruang kota berbasis percepatan wilayah wilayah metropolitan baru dibentuk membuat Saham Garuda seperti gadis manis di tepi kali ...cantik sekali.

Lalu bagaimana dengan Ari Ashkara, yang namanya tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan bukan saja di kalangan elite BUMN tapi sudah menjadi diskusi publik ramai di media-media nasional. Jawaban soal Ari Ashkara ini sebenarnya sudah dijawab ringkas oleh Rhenald Kasali, dengan bahasa lugas : Ari ditugaskan melawan 'logika-logika lama'. 

Ini artinya bicara Garuda, sama seperti perusahaan perusahaan besar lainnya, semuanya mengalami 'great shifting', pergeseran besar, Garuda bukan lagi sebuah perusahaan berkultur priyayi, dimana kita ingat dulu di tahun 80-an waktu bandara masih di Kemayoran atau awal awal Bandara Sutta berdiri, kalau kita naik Garuda seperti orang mau lebaran, semua pakai baju rapi. 

Tapi sekarang naik Garuda seperti hal yang biasa, hanya saja Garuda punya kelebihan dibandingkan maskapai maskapai lain, ia seperti kebanggaan orang Indonesia bila menumpang Garuda. Karena Garuda memberikan nuansa lebih  'tidak sekedar terbang'  Garuda sudah bagian dari selfie-selfie generasi baru, sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial media milenial, lebih jauh lagi Garuda menciptakan ruang destinasi baru tapi juga membangun kultur perusahaan yang fast growing atau tumbuh cepat, ini yang kurang dibaca para otoritas dalam melihat Garuda sebagai sebuah "Great Shifting" dari jaman full birokrasi menuju jaman digital milenial.

Garuda memang punya masalah soal harga tiket, tapi masalah itu akan selesai bila kemudian akumulasi keuntungan dan perluasan wilayah bisnis bisa tercipta, karena bisnis airlines sekarang bukan sekedar "jual tiket" tapi lebih jauh soal akumulator terciptanya arus manusia baik sebagai destinasi wisata maupun terbentuknya pusat pusat kota baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun