Mohon tunggu...
Anton Kurniawan
Anton Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMA Kolese Kanisius 2013 | Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB 2013

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pahlawan, Blok Mahakam, dan Idealisme Pemuda

10 November 2013   07:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” (Tan Malaka)

Di penghujung tahun 2013, Indonesia merayakan beberapa momen bersejarah dalam dinamika kebangsaannya. Dimulai dari Sumpah Pemuda 28 Oktober, Hari Pahlawan 10 November, hingga Hari Ibu yang diadaptasi dari Kongres Perempuan I pada 22 Desember. Dari tiga peristiwa emosional tersebut, hari Pahlawan menjadi paling akrab di telinga karena begitu dahsyatnya perjuangan dari “arek-arek Suroboyo” untuk berhadapan dengan Inggris kala itu di tahun 1945. Perjuangan mereka dihadapkan dengan lawan yang jauh lebih besar, persis seperti David versus Goliath. Dari sekian banyak kekurangan dan ketertinggalan baik fisik maupun teknologi, mereka tidak meninggalkan perjuangan dan mengibarkan bendera putih, melainkan terus menggempur lawan yang tidak mereka tahu taktik dan strateginya. Mereka yakin dan percaya hanya ada terdapat dua pilihan, “Merdeka atau Mati”. Pada akhirnya, mereka tidak mati, tetapi justru mampu memberikan tekanan berarti bagi Inggris saat itu.

Beranjak di 2013, sudah tidak ada lagi perang menggunakan senjata secara langsung. Namun, akhir-akhir ini marak “perang” dalam bentuk pencitraan dan propaganda jelang Pemilihan Umum 2014. Maklum saja, siapa berkuasa biasanya berusaha melanggengkan pengaruhnya di masa depan. Pergolakan dalam bentuk apapun mulai muncul ke permukaan. Dari tawar-menawar Upah Minimum Provinsi (UMP) hingga pembongkaran skandal-skandal korupsi yang ada di hampir semua elemen pemerintah. Apakah semuanya itu tulus murni untuk menolong masyarakat atau justru pencitraan untuk tujuan pengalihan akan hal yang lebih besar?

Tanpa bermaksud berpikiran negatif, saat ini sedang hangat dibicarakan mengenai sengketa Blok Mahakam. Sebuah daerah di kawasan Kalimantan Timur ini memiiki cadangan sebesar 6 hingga 8 TCF (Trilliun Cubic Feet) gas dan 100 juta barrel minyak bumi. Jumlah ini bila dikonversi akan mendekati angka hingga Rp 1.100.000.000.000.000,- alias 1.100 triliun rupiah. Angka mahabesar ini jelas akan membantu percepatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur khususnya di kawasan Indonesia Timur. Sayangnya, harapan ini masih jauh panggang dari api. Ketidakpercayaan pemerintah khususnya kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat pemerintah tidak memberikan kesempatan bagi perusahaan dalam negeri Pertamina untuk mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam yang akan usai kontraknya pada 2017. Pemerintah lebih bermain dengan tangan bersih untuk memberikan hak kepada Total EP (Perancis) dan Inpex (Jepang) dalam pengelolaan Blok Mahakam. Hal ini menjadi ironi dikarenakan sudah hampir setengah abad bangsa ini hanya menjadi penonton setia. Berawal dari kontrak tahun 1967 sampai 1997 kemudian diperpanjang hingga 2017.

Kesetiaan menjadi penonton patut dipertanyakan. Sekiranya pemerintah sadar bahwa Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 belum diubah. “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” demikian bunyi dari aspirasi pendiri bangsa kala itu. Keengganan untuk menanggung kerugian membuat pemerintah nyaman dalam iklim investasi. Pemerintah tanpa dosa berdalih bahwa Pertamina dianggap belum cukup mampu dalam mengelola Blok Mahakam. Padahal pemerintah seharusnya ada di garda terdepan dalam mendukung Pertamina untuk menjadi perusahaan internasional yang memainkan peta energi dunia khususnya Asia.

Pertandingan masih terus berlangsung. Mendekati batas akhir kontrak Blok Mahakam dan Pemilihan Umum 2014, belum ada tokoh yang berani secara terang-terangan menyuarakan keberatan atas pembodohan bangsa ini. Kalaupun ada, hanya segelintir aktivis dan pemerhati energi berteriak lantang mengajukan nasionalisasi Blok Mahakam. Naas, belum ada inisiatif yang cukup baik dari pemerintah. Pengalaman peta politik Indonesia saat diacak-acak tahun 1998 oleh “asing” sudah membuat pemerintah jera dalam mengambil keputusan spekulatif. Memilih bermain aman mungkin merupakan pilihan terbaik saat ini. Padahal ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Apabila sumber daya belum siap, khususnya modal dan teknologi, pemerintah dapat memberikan stimulus atau kebijakan untuk mengantisipasinya. Waktu 4 tahun ke depan kiranya cukup untuk pembelajaran sekaligus persiapan akuisisi oleh Pertamina.

Sia-sialah perjuangan “arek-arek Suroboyo” di masa silam apabila hasil perjuangan mereka hanya menguap diguyur nominal uang fantastis. Sia-sialah pula mereka yang mempersiapkan bambu runcing dan terus berharap tidak ditembus timah panas di masa lalu saat lawan mereka di masa lalu kembali menjajah dengan cara lain. Kehidupan jelas bukan kesia-siaan yang hanya bisa diratapi tanpa bisa diubah. Masih ada cara-cara lain untuk meningkatkan derajat kehidupan bangsa Indonesia.

Pemuda. Satu subjek yang seharusnya mampu mengubah dunia. Pemuda adalah benteng terakhir dalam percaturan kebangsaan Indonesia. Pemuda produktif akan mampu menghasilkan kesejahteraan untuk diri sendiri, keluarga, dan akhirnya bangsanya. Pemuda harus kembali diingatkan agar tidak hanya hidup demi dirinya sendiri, melainkan secara visioner menatap jauh masa depan tanah yang diinjak dan air yang diminumnya. Pemuda dapat melakukan berbagai cara elegan untuk meraih kedaulatan sesungguhnya. Dengan momentum Sumpah Pemuda, pemuda Indonesia 85 tahun silam tidak hanya berjanji melainkan bersumpah untuk bertanah, berbangsa, dan berbahasa satu. Pemuda harus kembali diingatkan mengenai sumpah itu. Walaupun pemuda masa ini tidak ikut hadir dalam kongres tersebut, pemuda dapat turut melaksanakan dan mewarisi api (bukan abu) perjuangan tersebut. Beberapa tanggapan untuk hadir dalam masalah Blok Mahakam. Beberapa institusi pendidikan tinggi di Indonesia sudah menyuarakan #RebutMahakam di media sosial Twitter. Adapula pengusung petisi change.org untuk menyampaikan aspirasi nasionalisasi Blok Mahakam. Kehebatan pemuda dalam mengadaptasi teknologi patut dimanfaatkan sehabis-habisnya demi kemajuan bangsa.

Idealisme dipercaya oleh Tan Malaka merupakan kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Mereka, “arek-arek Suroboyo” yang tidak memilih mati saat dihadapkan dengan gempuran Inggris masa itu tidak boleh dilupakan. Mengheningkan cipta yang biasa kita lakukan saat upacara perlu diterapkan dalam kehidupan nyata. Merebut kembali kedaulatan energi lewat akuisisi Pertamina dalam kawasan Blok Mahakam merupakan harga mati. Walaupun berhadapan dengan raksasa ekonomi dunia, Indonesia tidak perlu khawatir. Meskipun Pemilihan Umum 2014 dapat saja diacak-acak oleh asing, Indonesia tidak boleh gentar. Enam puluh sembilan juta pasang mata pemuda akan terus mengawasi pergerakan yang ada di Indonesia. Karena hanya dengan itu, Indonesia akan kembali menjadi macan Asia dan bukan menjadi boneka bangsa asing.

Anton Kurniawan
Bandung, 9 November 2013
Pukul 08.40 WIB

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun