Mohon tunggu...
Anto Medan
Anto Medan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ayuk.......

Selanjutnya

Tutup

Money

Demam Tinggi Indonesia, yang Tak Kunjung Reda

23 Januari 2016   15:45 Diperbarui: 6 Mei 2016   22:58 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ketika di smp, guru fisika saya menaruh tiga ember air di depan kelas. Satu ember air biasa, satu ember dicampur es batu, sedangkan satu lagi dicampur air panas. Dari setiap baris tempat duduk, dipilih siswa/siswi untuk memasukkan tangan ke dalam ember. Kesimpulan hari itu, panas dan dingin itu relatif.

Dalam hal yang paling ekstrim, seekor kodok, bila berada dalam suatu wadah air, dan suhu air dipanaskan perlahan-lahan. Maka, sang kodok akan mati.

Sejak Pilpres 2015 kemaren sampai hari ini, kurs dolar tetap bertengger di 13ribu lebih. Sekarang, para ekonom sudah tidak mengkomentari tingginya kurs dolar terhadap rupiah. Persis seperti kodok-kodok itu.

Apa sebenarnya efek dari dolar tinggi? Atau lemahnya rupiah? Secara praktisnya, maka nilai barang impor yang harusnya kita bayar menjadi lebih banyak. Umpamanya, dulu kita hanya membayar 9500 untuk satu buku, maka sekarang kita harus membayar 13.800 untuk buku yang sama. Berapa persen kenaikannya? 4300 atau 45%.

Dulu, kalau kita ke luar neger dan menghabiskan 2000 dolar, maka kita hanya perlu mengkonversi 19juta rupiah. Sekarang, kita harus mengkonversi 27,6juta rupiah.  Kalau naik haji, sekitar usd3200, dulu kita hanya perlu 30juta rupiah, sekarang kita harus punya 44juta rupiah.

Ada ekonom yang berpendapat, tidak masalah rupiah lemah, karena toh akan terserap dalam belanja. Rakyat hanya perlu berhemat dan memprioritaskan belanjanya. Hal ini meski tidak enak diterima, tetapi ada benarnya juga. Tetapi menjadi masalah besar, ketika pengusaha akan melakukan investasi yang melibatkan investasi Barang Modal.

Kenapa? Karena, investasi Barang Modal ini akan mengikat selama perusahaan masih berdiri. Umpamanya, seorang pengusaha lokal akan membuka sebuah pabrik dengan nilai investasi sebesar 20juta dolar, dengan perincian 10juta untuk barang modal (mesin dan teknologinya) dan 10juta untuk bahan baku. Umpamanya, pengusaha lokal ini memakai fasilitas pajak kemaren, nah dia punya 200 milyar rupiah. Berarti untuk barang modal, dia harus menyediakan 138 milyar dan 138 milyar lagi untuk bahan baku. Berarti dia akan memerlukan pinjaman lagi sebesar 76 milyar.

Kalau dulu, dia hanya perlu 200 milyar itu saja. Itu pun masih bersisa. Kalau dia membuka pabrik, maka masalah paling besar adalah dia terikat dengan investasi mesin sebesar 138 milyar. Untuk bahan baku, dia tidak begitu khawatir, karena terus berputar seiring dengan kurs yang turun naik, kalau naik, ya, harga jual ikutan naik, kalau turun, ikutan turun juga. Dan dia harus berutang sebesar 76 milyar. Sebagai seorang pengusaha, maka dapat dipastkan, apabila keuntungannya 25 persen kotor, maka dia pasti tidak akan melakukan investasi. Karena kalau dia melakukan investasi sekarang, maka dia terikat dengan kurs 13800 untuk 10juta dolarnya yang dibelanjakan untuk mesin (barang modal). Dan belum lagi beban bunga untuk 76milyar yang harus dibayar setiap bulan dan resiko diagunkannya pabrik ke bank.

Andaikata pun dia memutuskan mendirikan pabrik, maka dengan keuntungan 25% kotor, kita asumsikan 20 persen bersih, maka sesudah kerja 2 tahun, keuntungan yang dia peroleh belum cukup untuk menutup pinjaman dan selisih kurs, kalau kurs kemudian menguat menjadi 10ribu rupiah per dolar, serta depresiasi.

{( 20% x 276 milyar ) - ( 12% x 76 milyar ) }x 2  - {( 13800 - 10000) x 20 juta}

= 110 milyar - 18 milyar - 76 milyar - 14 milyar

= 16 milyar.

Ada keuntungan bersih 16 milyar, kurang depresiasi 14 milyar dan masih berutang ke bank sebesar 76 milyar. Jadi, kalau dikurangi laba bersih (16 milyar) masih ada utang 50 milyar. Nilai investasi sudah susut, mungkin 10%, jadi ada nilai depresiasi sebesar 14 milyar.

Andaikata, dia tidak menginvestasikan uangnya, maka dengan bunga deposito 8%, nilai uangnya yang 200 milyar sudah menjadi 232 milyar di tahun kedua. Kalau dia menginvestasikan uangnya, pada tahun kedua, ada kemungkinan dia memiliki utang 60 milyar sementara nilai uangnya sendiri berkurang 14milyar, dengan total asetnya 262 milyar, dengan nilai investasi awalnya 276 milyar.

Nah, meski hitungan sederhana di atas tidak mewakili pendirian pabrik apa pun, tetapi itu lah contoh dari situasi hati pengusaha pada saat ini.

Kebijakan ekonomi yang telah digulirkan pemerintah memang mempersiapkan pondasi ke langkah berikutnya. Semuanya baik. Tetapi demam belum juga reda.  Apabila kurs rupiah terlalu lama lemah, maka akan berdampak rusaknya sendi-sendi ekonomi. Mungkin kita juga harus tegas dalam sikap kita, apakah kita menganut kapitalis atau sosialis. Kebijakan ekonomi kita seringkali banci. Di satu sisi, takut menguntungkan pengusaha, di sisi lain tetap saja tidak memihak rakyat.

Kalau pabrik tutup, pengusaha bangkrut, apa untungnya sama negara? Apakah karena pabrik dan pengusaha identik dengan minoritas Tionghua? Maka sentimen seperti ini pun harus ditegaskan tidak lagi berlaku di Indonesia. Maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang lebih real dan praktis dalam membantu agar pabrik yang ada tidak tutup.

Langkah pemerintah dengan dibuatnya banyak proyek-proyek fantastis adalah dengan harapan belanja atas proyek akan mengembalikan uang kembali ke rakyat, memutar kembali roda perekonomian. Tetapi, langkah ini, sepertinya belum bisa berhasil, karena pungutan pajak dalam mencapai target pencapaian pun sudah menimbulkan luka dalam yang perlu waktu disembuhkan. Apakah pengusaha yang mampu bertahan masih bisa mengikuti ritme pemerintah?

Seiring dengan kebijakan ekonomi, pemerintah sepertinya tidak memberikan angin sedikitpun dalam hal potensi penerimaan. Produk pertanian dan peternakan pun akan dipungut PPN.  Jadi, di satu sisi, pintu di buka tetapi beban  semakin ditambah. Maka, pada masa seperti ini, membuat dunia usaha semakin diam, semakin lesu. Banyak yang akhirnya bertahan hidup saja, atau tutup sama sekali, karena dari sejak naik tahtanya Presiden, sampai hari ini, tidak nampak kecakapan beliau dalam menata ekonomi. Kebaikan hati dan ketulusannya kelihatan, tapi kapabilitas beliau dan pembantunya tidak terlihat. Para profesor dan doktor sepertinya hanya bisa berteori.

Kalau menurut pak Asaaro Lahagu, Jokowi sedang mempraktekkan ilmu kodoknya, maka kita berharap, kebijakan selanjutnya bisa membawa angin perubahan yang segar dan nyata.

Dan satu lagi, dalam dua tahun ini, API, Angka Pengenal Impor kami telah direvisi 3 kali. Dalam teorinya tidak perlu biaya, dalam prakteknya ga ada yang gratis. Pertama, API dibatasi tidak boleh impor yang tidak terdaftar di API, kemudian API dikembalikan seperti semula tanpa pembatasan oleh Pak Thomas. Saran saya, untuk yang seperti ini, kalau toh angka pengenal nya masih sama, maka sebaiknya pemerintah sendiri yang mengupdate di sistem. Dan kenapa API harus diregistrasi ulang setiap 5tahun kalau berlaku seumur hidup? Apakah data importasi tidak bisa dilihat di kemendag? Kenapa harus disibukkan dengan membuat laporan realisasi impor lagi? Kalau setiap tahun ada perubahan aturan, sama saja setiap tahun buat baru. Birokrasi makin amburadul. Maksudnya baik, tapi prakteknya tidak lebih baik. Kalau mau dikembalikan ke API yang lama, tidak usah lagi dibuat lembar API yang baru. Cukup buat permendag untuk menjelaskan saja.

Kebijakan ekonomi mempermudah izin usaha juga hanya jargon. Sekarang, malah lebih ribet. UKP UPL dan Amdal menjadi keharusan. Padahal hanya buka bengkel juga harus UKP UPL atau amdal. Ribet dan mahal luar biasa.  Maka, bisa kita katakan dengan satu ungkapan, "Pemerintah dulu motivasi nya tidak benar, prakteknya juga jadi ga benar, Pemerintah sekarang motivasinya benar, tapi prakteknya juga masih tidak benar."

 

Salam dari Medan,

Anto

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun