Kamu, api, melalap membakar semua yang ada di depan matamu. Aku tak sengaja mendekat dan melihat semua luapan api itu dari matamu. Dan aku terbakar seluruhnya dalam segala amukan api yang tak terpadamkan itu
Air, dimana air.
Aku mencarinya kemana-mana tidak dapat menemukan air untuk memadamkan nyala api itu. Kemauannya begitu dahsyat melahap semua yang ada di depan nyala apinya. Tabir hawa yang menyelimutinya pun begitu kuat, menghanguskan apapun yang memandangnya.
Aku tak perlu menyentuh titik api itu, hawa panasnya telah menghanguskan aku. Dalam kemarahannya, dalam setiap amukan massanya.
Panas. Sangat panas.
Tubuh ini meradang demam terbakar panasnya api yang menyala-nyala. Hanya ujung air mata yang menetes dan mengalir sebagai pertahanan terakhirnya. Hanya satu kata dan semua runtuh begitu saja.
Aku menangis memohon jangan bakar lagi, sakit dan hangus nyala api itu menyentuh kulit tangan ini. Baranya begitu merah dan menyala.
Aku ingin memeluk air yang menyegarkan setiap sel tubuhku.
Aku mencarinya tapi tak menemukannya.
Seakan seperti air yang lenyap dari gurun sahara.
Seakan pohon katulistiwa yang hijau berubah menjadi merah terbakar teriknya api itu.
Aku terbakar, hangus dan lenyap. Airmata disudut mata hanya hiasan, senyum itulah sajian utamanya. Aku meminum airmata yang jatuh karena menahankan panas bara api yang menjilat di ujung-ujung kulitku.
Panas. Hangus. Lenyap. Airmata. Senyum. Amarah. Dahsyat. Bara. Merah. Abu. Cinta