Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dunia Televisi Kita Sudah Begitu Terlambat

13 November 2019   10:59 Diperbarui: 13 November 2019   18:28 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay/Free-Photos

"Saat India telah bersiap daratkan pesawat luar angkasa di bulan, Indonesia masih berpijak di bumi. Saat negara lain tengah bersiap memasuki revolusi Industri 4.0, Indonesia masih sibuk mengurus siapa dan siapa. Saat televisi luar asing telah memasuki fase internet, Indonesia masih berkutat di manual alias analog".

Negara kita, memang lebih suka berwacana dan berdiskusi panjang lebar lalu menyelesaikan sebuah persoalan. Jika wacana tersebut tak terlalu seksi maka sekelebat itu tersimpan rapi dalam laci.

Salah satu contoh, tentang Undang-Undang Penyiaran, khususnya televisi yang mengatur sistem digitalisasi, atau beralihnya dari sistem analog ke sistem digital. 

Wacana ini tak terlalu seksi ketimbang diskursus lainnya di wilayah kekuasaan serta gedung parlemen. Tengok misalnya, RUU menyangkut kesehatan, korupsi, Pilkada, dan lainnya yang selalu mendapat ruang di hati kekuasaan dan parlemen. Seolah aturan tentang RUU tersebut kelar hanya dalam sekejap mata, tak ada perdebatan.

Tak berbanding lurus dengan dunia penyiaran di Indonesia. Bertahun tahun nasib RUU Penyiaran yang mengatur migrasi dari model tontonan masyarakat umum ke dunia digital, hingga kini belum jelas.

Padahal, International Telecommunication Union (ITU) telah mengimbau pada seluruh negara di dunia agar paling lambat tahun 2018 kemarin, sistem tontonan telah berubah dari analog ke digital. Dan di ASEAN, Indonesia setara dengan Myanmar masih menggunakan teknologi konvensional perihal dunia penyiaran.

Sekilas tentang penyiaran digital, adalah sistem penyiaran yang  menggunakan teknologi digital dengan spektrum lebih sedikit tapi menghasilkan gambar lebih jernih, serta memiliki kanal yang banyak.

Dengan begitu, kelak kita tak hanya mengenal pengusaha televisi yang bernama Hary Tanoe, Chairul Tanjung, Surya Paloh, Eddy Kusnady, Jacob Utama, dan Aburizal Bakrie. Akan banyak pendatang baru, pengusaha baru, stasiun televisi baru kelak jika RUU Penyiaran tersebut telah legal.

Desakan untuk melegalkan sebenarnya berlangsung dari tahun ke tahun. KPI nyaris tak henti-hentinya terus berharap dan mendesak pada kekuasaan dan pada anggota DPR agar segera mengesahkan RUU tersebut. Juga mengimbau pada perusahaan swasta untuk secepatnya migrasi. Jika telat, maka bukan saja kita akan tertinggal oleh desakan ITU sebagaimana negara lain telah menerapkannya.

Akan tetapi yang lebih fatal kelak televisi hanya akan menjadi "candi" atau pajangan saja di rumah rumah warga menyusul teknologi televisi internet atau televisi daring bergeliat tanpa rem.

Sebenarnya pada tahun 2011 Kominfo telah menerbitkan aturan agar perusahaan swasta televisi segera beralih dari analog ke digital, tetapi pihak swasta melalui Asosiasi Jaringan Televisi Swasta Indonesia menggugat melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Maka buyarlah lagi aturan yang mendunia itu. Seperti mendengar musik yang sedang viral saat ini, "entah apa yang merasukimu".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun