Mohon tunggu...
annisa nurlaili
annisa nurlaili Mohon Tunggu... UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Mahasiswi perguruan tinggi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kesaksian perempuan dalam Al-Qur'an: Antara Teks dan Spirit Keadilan

18 Juni 2025   21:41 Diperbarui: 18 Juni 2025   21:41 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENDAHULUAN

Kesaksian merupakan bagian integral dalam sistem hukum dan sosial masyarakat, termasuk dalam hukum Islam. Dalam konteks Al-Qur'an, kesaksian memiliki posisi yang penting sebagai salah satu alat untuk menegakkan keadilan (al-'adl) dan kebenaran (al-aqq). Namun, isu tentang kesaksian perempuan kerap menjadi sorotan karena adanya ayat yang menyebutkan bahwa dua orang saksi perempuan setara dengan satu orang saksi laki-laki. Hal ini sering kali dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa kesaksian perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki, sehingga menimbulkan persepsi bias terhadap perempuan dalam ranah hukum Islam. Dalam pandangan sebagian masyarakat, perempuan dianggap tidak kompeten memberikan kesaksian dalam urusan publik, ekonomi, atau pidana, yang notabene dianggap sebagai wilayah laki-laki. Namun benarkah Al-Qur'an mendiskreditkan kesaksian perempuan? Ataukah ayat-ayat tersebut memiliki konteks historis tertentu yang semestinya tidak dipahami secara literal dan stagnan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab melalui pendekatan tafsir kontekstual dan maqashid syariah yang mempertimbangkan semangat keadilan yang diusung Al-Qur'an secara menyeluruh. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah bagaimana kesaksian perempuan digambarkan dalam Al-Qur'an, baik dari segi tekstual maupun kontekstual, serta bagaimana semangat keadilan yang menjadi ruh ajaran Islam tetap dijaga dalam memahami isu ini. Dengan demikian, tulisan ini tidak hanya melihat teks semata, tetapi juga membangun pemahaman yang menyeluruh dan adil terhadap perempuan sebagai subjek hukum dan moral dalam Islam.

ISI

Salah satu ayat yang paling sering dikutip terkait kesaksian perempuan adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 282, yang berbicara tentang kesaksian dalam transaksi utang piutang. Ayat tersebut menyebutkan bahwa jika tidak terdapat dua orang laki-laki, maka dapat digantikan dengan satu laki-laki dan dua orang perempuan, dengan alasan: "agar jika seorang lupa, maka yang lain dapat mengingatkannya." Frasa ini sering ditafsirkan secara harfiah bahwa perempuan lebih mudah lupa atau kurang akurat dibanding laki-laki, sehingga dibutuhkan dua orang perempuan untuk memastikan validitas kesaksian. Namun, banyak mufasir kontemporer menekankan bahwa konteks turunnya ayat ini sangat penting untuk dipahami. Ayat ini turun dalam masyarakat Arab abad ke-7 yang pada saat itu perempuan tidak terlibat aktif dalam urusan muamalah atau transaksi keuangan. Dengan kata lain, latar sosial pada masa itu menjadi pertimbangan mengapa kesaksian perempuan dalam transaksi keuangan memerlukan pendamping. Tafsir ini menegaskan bahwa perbedaan jumlah bukanlah bentuk pengurangan nilai perempuan, melainkan bentuk perlindungan dan afirmasi terhadap kondisi sosial mereka saat itu. Selain itu, dalam banyak ayat lain, Al-Qur'an tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal tanggung jawab moral, spiritual, dan hukum. Dalam konteks tertentu seperti kesaksian atas perzinahan (Q.S. an-Nur [24]: 6-9), kesaksian seorang perempuan - dalam hal ini istri - dapat menandingi dan bahkan mengalahkan kesaksian suaminya. Hal ini terjadi dalam kasus li'an, yaitu ketika suami menuduh istrinya berzina tanpa ada saksi lain. Dalam kasus ini, masing-masing pihak bersumpah lima kali, dan kesaksian istri memiliki kekuatan hukum yang setara, bahkan dapat membatalkan hukuman rajam bagi perempuan jika dia bersumpah dengan serius dan menyebut laknat Allah atas dirinya jika ia berdusta. Ayat ini menunjukkan bahwa dalam perkara moral dan pribadi, Al-Qur'an memberikan ruang yang adil bagi perempuan untuk bersuara dan membela dirinya. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an tidak mendiskreditkan perempuan sebagai saksi, melainkan memperhatikan konteks, kejujuran, dan kebenaran sebagai aspek utama. Dalam hadis Nabi juga terdapat contoh ketika perempuan menjadi saksi dalam kasus-kasus penting, seperti ketika Hafshah dan Aisyah meriwayatkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Muhammad. Pendekatan maqashid syariah -yaitu memahami hukum berdasarkan tujuan syariah yang mencakup keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia-mendorong kita untuk membaca ayat-ayat kesaksian dengan pandangan yang lebih progresif. Jika tujuan hukum adalah menegakkan keadilan, maka setiap pembacaan hukum yang mengarah pada diskriminasi atau penindasan terhadap satu pihak harus ditinjau ulang, apalagi jika konteks sosial dan kultural sudah berubah. Dalam dunia modern di mana perempuan telah banyak berperan di sektor publik dan memiliki kapasitas profesional yang tinggi, pembacaan ulang terhadap teks-teks kesaksian menjadi sangat relevan agar hukum Islam tetap adaptif dan relevan.

PENUTUP

Kesaksian perempuan dalam Al-Qur'an bukanlah persoalan yang dapat dipahami secara tekstual semata. Ayat-ayat yang mengatur tentang kesaksian tidak berdiri di ruang hampa, tetapi berakar dari realitas sosial tertentu. Oleh karena itu, memahami teks tanpa konteks dapat mengaburkan pesan keadilan yang menjadi dasar syariat Islam. Al-Qur'an tidak menegasikan kemampuan intelektual atau moral perempuan dalam bersaksi, tetapi justru memberikan ruang bagi mereka untuk diakui dan dihormati. Dalam beberapa konteks, kesaksian perempuan bahkan memiliki kekuatan hukum yang sejajar dengan laki-laki, sebagaimana dalam kasus li'an. Dengan pendekatan kontekstual dan maqashidi, kita dapat melihat bahwa nilai keadilan, kebenaran, dan kemaslahatan lebih utama daripada pengertian literal yang statis. Dalam kerangka inilah, sudah seharusnya umat Islam menggali ulang makna ayat-ayat Al-Qur'an dengan mempertimbangkan perubahan zaman, realitas sosial, serta nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, hukum Islam akan terus hidup, dinamis, dan relevan dengan kehidupan umat manusia sepanjang zaman, termasuk dalam isu penting seperti kesaksian perempuan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun