Mohon tunggu...
Annisaa Ganesha
Annisaa Ganesha Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kumpulan Mahasiswi Ideologis

Berdakwah dengan pena digital

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kebijakan Menyayat Hati, Iuran BPJS Naik di Masa Pandemi

2 Juni 2020   01:43 Diperbarui: 2 Juni 2020   01:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pandemi telah mengguncang keadaan ekonomi masyarakat selama beberapa bulan terakhir, namun tidak hanya pandemi, rakyat juga diguncang dengan pemerintah negeri ini yang tak punya hati membuat kebijakan-kebijakan yang minim empati. Saat wabah masih melanda negeri ini, ketika masyarakat mengalami kesulitan ekonomi, serta tingginya angka PHK, pemerintah malah justru menaikkan iuran BPJS setelah sebelumnya berkata akan menurunkan iuran. HM Fadhil Rahmi, Lc. selaku anggota DPRD RI asal Aceh mengatakan, "Kebijakan ini melukai hati masyarakat. Di tengah wabah corona seperti sekarang, banyak masyarakat mengalami kesusahan di bidang ekonomi serta PHK terjadi di mana-mana." (Serambinews.com). Namun pendapat tersebut dibantah Stafsus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, Yustinus mengatakan bahwa sebenarnya BPJS telah mengalami defisit sebesar 15,6 triliun rupiah di tahun 2019. Yustinus juga mengatakan, "Naikin iuran gak asal naikin, ada pertimbangan masa pandemi juga. Adil dan bijak?". 

Sementara Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) turut menyayangkan langkah Presiden Joko Widodo yang bersikukuh tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan disaat masyarakat tengah mengalami kesulitan (Tribun Mataram). AHY juga menulis melalui akun pribadinya, "Masyarakat sedang membutuhkan fasilitas jaminan kesehatan, sementara pandemi juga menciptakan peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan. 

Masyarakat ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula.". Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyampaikan tanggapan senada terhadap rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Muhyiddin Junaidi selaku Wakil Ketua Umum MUI menyebut bahwa kenaikan itu membuat masyarakat semakin menderita, terutama saat pandemi ini (Republika.co.id). 

Muhyiddin juga mengatakan bahwa kenaikan iuran BPJS bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan menolak kebijakan pemerintah tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. (Republika.co.id).


Kenaikan iuran ini ditandai dengan terbitnya Perpres 64/2020 dimana iuran peserta kelas I yang sebelumnya Rp 80 ribu naik menjadi Rp 150 ribu, sedangkan kelas II yang sebelumnya Rp 51 ribu naik menjadi Rp 100 ribu. Sedangkan untuk iuran peserta kelas III yang sebelumnya Rp 25.500 naik menjadi Rp 42 ribu. 

Kenaikan diberlakukan mulai Juli 2020 dan per Januari 2021, subsidi iuran untuk peserta kategori PBPU dan BP dikurangi. Kenaikan iuran tersebut menjadi satu dari sekian bukti bahwa pemerintah negeri ini menganggap layanan kesehatan merupakan jasa yang dapat dikomersialkan. Di satu sisi, BPJS Kesehatan terus mendapat tekanan keuangan yang berat, salah satunya berupa defisit dengan nominal yang fantastis. 

Namun di lain sisi, BPJS Kesehatan sendiri tidak bisa menjamin keterpenuhan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan buruknya pelayanan di rumah sakit ditandai dengan banyaknya kejadian diskriminasi pelayanan. Karena baik pihak rumah sakit maupun tenaga kesehatan bekerja di bawah tekanan BPJS Kesehatan. Di masa pandemi, kenaikan iuran dengan alasan apapun semakin mempertegas kenyataan bahwa BPJS Kesehatan merupakan lembaga kapitalis yang hanya mengutamakan keuntungan semata. Jaminan kesehatan ini bukan jaminan kesehatan dari negara kepada rakyat, tetapi faktanya rakyatlah yang membiayai kebutuhan kesehatannya sendiri.


Sangat berbeda dengan Islam. Islam sebagai agama yang sempurna, mengatur dan memberikan solusi secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan termasuk kesehatan. Dalam Islam, melayani kepentingan rakyat merupakan tugas negara. Karena negara dalam Islam adalah sebagai pengatur urusan rakyat, dan penguasa sebagai pelaksana negara tentunya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Nabi saw. bersabda:


Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).


Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok seluruh warga negara. Karena itu tidak akan ada eksploitasi kesehatan dengan dasar untung-rugi. Menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesehatan rakyatnya. Negara wajib menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana kesehatan yang layak untuk rakyat. Karenanya, negara wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang akan menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya.  Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya. Bahkan jika dalam kondisi pandemi seperti ini, negara bisa mengalihkan industri-industri untuk memproduksi alat kesehatan. Negara juga tidak akan meminta uang sepserpun untuk iuran kesehatan karena negara harus menerapkan konsep anggaran mutlak dimana berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Pelayanan kesehatan gratis diberikan kepada rakyat tanpa diskriminasi agama, suku, warna kulit, dan sebagainya dan dibiayai menggunakan kas Baitul Mal.


Hal yang sama juga berlaku ketika wabah menyebar dalam suatu wilayah, negara wajib menjamin pelayanan kesehatan berupa pengobatan secara gratis untuk seluruh rakyat di wilayah wabah tersebut. Negara harus memberikan fasilitas berupa rumah sakit, mendirikan laboratorium pengobatan dan menyediakan pelayanan lainnya untuk mendukung terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat agar wabah segera berakhir. Di sisi lain, negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, khususnya kebutuhan pangan rakyat di wilayah wabah tersebut. Hal tersebut sudah dijalankan sejak masa Rasulullah saw. Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal.  Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan.  Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal.  Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman.  Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan. Beginilah keseriusan Khilafah dalam menjamin kesehatan rakyatnya. (April)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun