"Mulailah dari bermimpi dan pusatkan perhatianmu ke sana, niscaya kamu akan mendapatkannya."Â Kalimat itu selalu terngiang di benak saya ketika memulai perjalanan untuk memiliki rumah. Sebagai pasangan muda kala itu, kami memiliki keinginan besar untuk segera punya rumah sendiri sebelum hadirnya anak dalam kehidupan kami.
Namun, dengan pekerjaan sebagai karyawan tetap, mengumpulkan dana untuk membeli rumah secara tunai tentu bukan perkara mudah. Kami sadar, sekalipun hemat dalam segala hal, tabungan kami tidak akan cukup dalam waktu singkat. Meski demikian, kami sepakat dari awal bahwa KPR bukan pilihan. Kami tidak ingin terikat hutang jangka panjang dan kehilangan kebebasan finansial selama puluhan tahun. Kami ingin menemukan jalan lain.
Langkah Pertama: Disiplin dan Doa
Kami memulai dengan membuat anggaran bulanan dari penghasilan tetap, dan menyisihkan seluruh pemasukan tambahan untuk ditabung. Kunci dari semuanya: disiplin, kesepakatan bersama, dan doa. Karena kami berdua fokus pada satu tujuan yakni memiliki rumah sehingga semua pengorbanan terasa ringan.
Menariknya, saat kami semakin serius menabung, peluang-peluang kerja tambahan mulai datang tanpa kami sangka. Sedikit demi sedikit, tabungan kami bertambah. Kami benar-benar mulai dari nol setelah menikah, tapi setelah satu tahun, dana yang terkumpul cukup untuk membeli sebidang sawah. Kami sangat bersyukur.
Suami saya memang pandai mengelola keuangan. Ia meyakini bahwa investasi tanah sangat menjanjikan dan bisa berkembang ratusan persen dalam beberapa tahun. Dan ia benar.
Dari Sawah ke Tanah Rumah
Beberapa tahun kemudian, datanglah tawaran menarik saat sebidang tanah di area perumahan dijual dengan harga yang cukup bersaing. Letaknya tak jauh dari tempat tinggal kami saat itu. Kami tergoda. Lalu kami menawarkan sawah yang kami miliki untuk dijual.
Tak disangka, harga sawah kami naik 300%! Dengan uang hasil penjualan sawah dan tabungan yang terus kami kumpulkan, akhirnya kami berhasil membeli tanah tersebut. Di situlah rencana besar kami mulai terasa semakin nyata, tanah ini akan menjadi lokasi rumah impian kami.
Mimpi yang Terus Dipeluk
Tahun demi tahun berlalu, tapi mimpi kami tetap hidup. Setiap akhir pekan, kami pulang ke rumah mertua naik sepeda motor. Di perjalanan, kami selalu melewati sebuah kompleks kecil yang asri dan strategis. Hati saya selalu berbisik, "Andai suatu hari aku bisa punya rumah di sini." Saya mengucapkannya dalam hati, bahkan sering bergumam ke suami.