Siang hari yang cerah. Awan putih laksana kapas berarak di langit Jakarta. Empat orang anakku bercengkerama riang di sofa ruang tengah. Mereka baru saja menerima kiriman paket dari mertuaku di luar kota.
Rasanya seperti mimpi. Aku telah melahirkan dan membesarkan empat orang anak. Ini lebih banyak dari yang aku rencanakan bersama kekasihku saat kami sepakat untuk menikah.
Ada banyak hal penting yang perlu dibahas secara mendalam sebelum menikah, bukan? Salah satu yang terpenting menurut kami adalah mau punya anak berapa.
Beberapa orang ingin memiliki banyak anak. Yang lain mungkin merasa satu anak saja cukup. Yang lain lagi malah tidak ingin punya anak sama sekali!
Tahukah kamu bahwa sejak usia 6 tahun, aku sudah bercita-cita menjadi seorang ibu?
Ketika aku mulai senang bermain boneka, aku sudah membayangkan bahagianya menjadi seorang ibu. O iya, ibuku melahirkan aku saat beliau berusia 24 tahun.
Saat usiaku 6 tahun, aku berpikir bahwa aku harus menunggu 18 tahun lagi agar bisa menjadi seorang ibu. Mimpiku tentang masa depan adalah sebuah rumah yang dipenuhi tawa ceria anak-anak.
Tahun demi tahun berlalu tanpa terasa. Dalam sekejap mata, aku telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa.
Seiring berlalunya waktu yang terbang, mimpi tentang rumah yang dipenuhi anak-anak juga menghilang. Aku terlalu sibuk menuntut ilmu lalu meniti karier.
Usiaku 25 tahun ketika kekasih hatiku mengajakku menikah. Ajakan yang menghadirkan kembali mimpi kanak-kanakku.
Aku ceritakan mimpi kanak-kanakku kepada kekasihku. Tahukah kamu apa jawabnya?
“Kamu masih percaya adagium ‘banyak anak banyak rezeki’ ya?” kekasihku menatapku dengan senyum di bibir dan matanya.
“Seumur hidupku hanya aku jalani berdua dengan mama,” aku balas menatapnya dengan sorot mata memohon belas kasihan. “Aku kesepian.”