Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok yang "Menghidupkan Kembali" Ayahku

26 Oktober 2020   05:00 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:06 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya bersama kakek dan nenek (dokpri)

Setelah dewasa, saya baru mengerti. Dengan caranya sendiri, kakek bukan saja mengajarkan saya untuk tidak mendendam. Kakek juga mau memperlihatkan kepada saya bahwa masih banyak persahabatan yang tulus dan indah.  

Kakek mengajar saya memaafkan dan meminta maaf

Kakek sering mengajak saya jalan kaki bersama di pagi hari. Biasanya, kami akan sarapan di warung kopi langganan kakek. Beliau selalu memesan cokbe (bubur khas Bagansiapi-api) untuk saya.

Sambil makan, kakek akan bertanya tentang kegiatan sekolah saya. Kepada kakek, saya bisa bercerita tentang apa saja. Ketika saya bercerita bahwa saya bermusuhan dengan teman, kakek akan mengingatkan bahwa bermusuhan bukan hal yang baik.

Dari cerita saya, kakek selalu dapat menunjukkan di mana letak kesalahan saya, tanpa membuat saya merasa bersalah. Saya hanya dinasihati untuk berdamai dan meminta maaf. Tetapi, jika yang salah adalah teman saya, kakek juga menasihati saya untuk berdamai terlebih dahulu.

Saya sering protes, "Mengapa jika saya bersalah, saya harus minta maaf untuk berdamai. Sementara, jika teman saya yang salah, saya juga yang harus mengusahakan damai terlebih dahulu tanpa menunggu teman tersebut meminta maaf?"

"Orang yang mampu meminta maaf meskipun tidak merasa salah, dia adalah orang yang rendah hati. Meminta maaf tidak selalu berarti mengaku salah. Terkadang, kita perlu meminta maaf agar hubungan tidak rusak." demikian jawaban kakek.

Saya bersama kakek dan nenek (dokpri)
Saya bersama kakek dan nenek (dokpri)

Kakek menyayangi saya apa adanya dan selalu bangga pada saya

Kakek tak pernah menuntut saya harus menjadi nomor satu. Pada saat saya membawa pulang gelar juara dua atau juara tiga, kakek selalu memuji saya anak pintar. Kata kakek, saya mewarisi kepintaran ayah.

Saya ingat, ketika saya duduk di kelas tiga SD, guru agama memberi kami tugas mengarang tentang "manusia jatuh ke dalam dosa". Karena senang dengan karangan saya, bu guru memberi saya hadiah buku "Khotbah di Bukit".

Ketika saya tunjukkan hadiah tersebut kepada kakek, beliau pun mengatakan bangga dengan pencapaian saya. "Kamu pintar mengarang, seperti ayahmu."

Kakek mengajar saya merawat kepercayaan

Setelah saya agak besar, saat kami sedang sarapan bersama, terkadang kakek bercerita tentang pekerjaannya. Menjabat sebagai tenaga pembukuan, kata kakek, adalah pekerjaan yang amanah. Ada kepercayaan yang diamanahkan orang kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun