Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menguak Peran Diskursif Media Massa

23 Agustus 2014   00:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:49 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14087037071280902210

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

Kita pinggirkan hiruk-pikuk sidang gugatan pasangan capres nomor dua dalam pilpres kemarin yang menghadirkan puluhan saksi dan bertumpuk-tumpuk bukti di Mahkamah Konstitusi (MK). Justru yang menarik untuk disimak adalah peran partisipatif media massa dalam memberitakan peristiwa-peristiwa seputar pilpres tersebut. Masih hangat dalam ruang benak kita, wacana un-independensi media massa di tanah air begitu kuat mengemuka sepanjang proses kampanye hingga kini. Un-independensi tersebut bahkan mengacu pada munculnya pemberitaan-pemberitaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas datanya (hoax news).

Wacana ini sangatlah logis, mengingat politisi-politisi di tanah air adalah pemegang sumbu hegemoni dan atau memiliki relasi mutualistik dengan konglomerasi media massa Indonesia. Jika begini, apakah wacana ini adalah sebuah pilihan lazim yang positif?

Pada tahun 1998, Ignas Kleden dalam JurnalKalam pernah menyoal imajinasi dalam sastra dan ilmu sosial. Batas antara fiksi dan fakta bagi Kleden merupakan batas yang tidak mudah untuk ditentukan bagi kedua bidang itu. Secara umum, seperti yang biasa diajarkan dalam pelajaran kesusastraan, perbedaanantara sastra dan non-sastra dirumuskan secara kategoris. Sastra dianggap menyampaikan kenyataan imajiner (imagined reality), sedangkan tulisan ilmu sosial (termasuk pemberitaan di media massa) menyampaikan kenyataanempiris yang bisa dianggap bisa ditangkap dengan pengamatan inderawi.

Sementara, baik karya sastra maupun pemberitaan media massa memiliki peran diskursif, yakni memiliki peran untuk menciptakan suatu pembenaran yang sering kali terlibat dengan kekuasaan, baik sebagai aspek hegemonik maupun sebagai aspek konter-hegemonik. Hal ini pula yang kemudian menjadi polemik ketika beberapa media massa di tanah air yang (diduga) berafiliasi pada salah satu kandidat pilpres kemudian memberitakan sisi negatif dari rivalnya. Kemudian, beberapa pemberitaan tersebut ternyata tidak terbukti validitas datanya sehingga tergolong sebagai “berita hoak”. Realitas ini diperparah dengan pemberitaan sepihak hasil quick count yang memenangkan jagoan masing-masing dalam pilpres. Akibatnya, massa sebagai pangsa pasar media massa pun terjerumus dalam kubangan ketidakpercayaan yang akut.

Sejatinya, menyampaikan sesuatu yang bertolak belakang dengan realitas adalah bagian dari ruh fiksional yang ada dalam sastra, namun tak sedikit pula yang menggunakan media massa untuk menyampaikan kedustaan. Adnan Oktar (Harun Yahya) dan juga Mahmoud Ahmadinejad menyebut bahwa peristiwa pembantaian kaum Yahudi selama Perang Dunia II di sejumlah kamar gas di wilayah yang dikuasai Jerman (Holocaust) merupakan rekayasa sejarah. Bagi Oktar dan Ahmadinejad, rekayasa tersebut merupakan pembenaran dari agresi militer Israel di Palestina. Padahal, akibat pemberitaan media massa internasional tentang Holocaust, mayoritas dari publik dunia ini mengamini dan memandang Jerman sebagai bangsa yang biadab dan benar pulalah jikalau bangsa Yahudi meluluhlantakkan bumi Palestina.

Dalam buku Holocaust Hoax, Oktar (2005:93-206) mempertanyakan keabsahan versiresmi sejarah perihal pembantaian dalam kamar gas tersebut. Ada sejumlah fakta yang sengaja disembunyikan dalam peristiwa ini. Ada sejumlah foto yang menggambarkan jumlah korban merupakan hasil rekayasa guna menambah jumlah mayat yang sebenarnya meninggal akibat penyakit Typhus. Jumlah korban yang diberitakan dalam pembantaian dalam sebuah kamar gas tersebut adalah 600 orang, sementara daya tampungnya hanya 90 orang.

Oktar dan Ahmadinejad bukanlah satu-satunya penyangkal kebenaran pemberitaan media massa tentang Holocaust, ada sejumlah akademisi melalui sejumlah risetnya juga melansir hal yang sama. Namun, sebagaimana penyangkalan sejarah, mereka justru mendulang stigma negatif anti-Semit dan dicap sebagai pelaku tindak kriminal serius. Salah satunya adalah David Irving, sejarawan Inggris yang mengingkariHolocaust ini diganjar hukuman tiga tahun penjara oleh pengadilan Austria karena memberi seminar tentang risetnya di negara tersebut. Perlu dicatat bahwa Austria merupakan satu dari dua belas negara di dunia yang menerapkan hukuman bagi para pengingkar Holocaust sebagai tindak kriminal (Fadjri, 2006:4).

Diskursus tentang Holocaustini menghegemoni dunia berkat situs-situs hegemoni yang disebarkan oleh sejumlah media massa internasional. Banyak tulisan berupa riset sejarah ditulis guna mengukuhkan versi resmi seperti apa yang dikemukakan dalam sejumlah buku Hannah Arendt. Selain itu, sejumlah karya fiksi juga diciptakan dalam rangka mengukuhkan hal tersebut seperti Catatan Harian Anne Frank,film Schlinder’s List garapan Steven Spilberg, dll. Media massa sangat berperan penting dalam mengukuhkan suatu diskursus (sebagaimana pengertiannya dalam istilah Foucault).

Memang, baik karya sastra maupun pemberitaan media massa memiliki peran diskursif, yakni memiliki peran untuk menciptakan suatu pembenaran yang sering kali terlibat dengan kekuasaan, baik sebagai aspek hegemonik maupun sebagai aspek konter-hegemonik. Hal ini pula yang kemudian menjadi polemik ketika beberapa media massa di tanah air yang (diduga) berafiliasi pada salah satu kandidat pilpres kemudian memberitakan sisi negatif dari rivalnya. Kemudian, beberapa pemberitaan tersebut ternyata tidak terbukti validitas datanya sehingga tergolong sebagai “berita hoak”. Realitas ini diperparah dengan pemberitaan sepihak hasil quick count yang memenangkan jagoan masing-masing dalam pilpres. Akibatnya, massa sebagai pangsa pasar media massa pun terjerumus dalam kubangan ketidakpercayaan yang akut.

Kini tingkat kefaktualan media dipertanyakan kembali, begitu juga tingkat akurasi sejarah. Ada operasi kekuasaan yang bergerak di balik media massa juga sejarah. Bukankah kekuasaan dan pengetahuan adalah dua sisi mata uang yang saling melingkupi seperti apa yang dikemukakan Foucault dalam bukunya Power/Knowledge (2002) yang terkenal itu?

********

*) Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia, pernah belajar di STKIP PGRI Jombang, dan sedang menempuh S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra di Unesa.

CATATAN:

dimuat di rubrik Opini, Harian DUTA MASYARAKAT edisi 16 Agustus 2014



Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun