Mohon tunggu...
Anjo Hadi
Anjo Hadi Mohon Tunggu... profesional -

"Politikus itu banyak. Tapi Negarawan itu sedikit."\r\n\r\nOnce worked as a journalist for OZIndo (Indonesian-speaking magazine in Australia) and Indomedia Australia.\r\n\r\nFollow me: https://twitter.com/AnjoHadi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ekstremis Muslim Indonesia Dibolehkan Merayakan Tragedi 9/11

12 September 2012   15:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:34 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

11 tahun telah berlalu. Ketika ratusan rakyat U.S mengheningkan cipta memperingati tragedi yang menimpa gedung kembar WTC, ratusan ektremis Muslim merayakan tragedi tersebut sebagai kemenangan religi didepan kedutaan U.S di Jakarta.

“Para pembajak pesawat mengorbankan nyawanya demi umat Muslim Palestina, ucap Muhammad Fachry”, juru bicara Ormas Syariah untuk Indonesia.

“Apa yang mereka lakukan adalah peringatan untuk pemerintah Amerika untuk menghentikan penindasan atas umat Muslim dan support atas pemerintah Israel.”

Sementara Son Hadi dari Jemaah Anshroud Tauhid memuji ‘keberanian para pembajak’ dan menyebutnya “awal lembaran perang umat Islam melawan hegemoni Barat.”

“Kesombongan Amerika runtuh bersama dengan menara kembar WTC,” ujar penyelenggara unjuk rasa tersebut. Adapun sejumlah polisi hanya diam berjaga-jaga didepan Kedutaan.

Berita selengkapnya dapat dibaca disini: http://www.news.com.au/breaking-news/world/indonesian-islamists-praise-911-hijackers/story-e6frfkui-1226472130575

Terorisme Sengaja Dibiarkan Hidup oleh “Indonesian Democracy”

Sengaja kalimat diatas saya kasi bold hitam. Mengapa polisi hanya diam saja melihat semua ini? Dianggap sebagai suatu ekspresi demokrasi? Atau simpati tersembunyi? Entah dimana nalar yang tepat untuk menggambarkan pembiaran tersebut tapi setidaknya kita sekarang mengerti mengapa masih saja aksi teror yang terjadi di Solo dan Depok baru-baru ini.

Sungguh ironis bahwa demokrasi dan pluralisme yang kita banggakan justru dimanfaatkan baik oleh simpatisan teror untuk memperluas ideologi fanatik mereka. Dengan mata kepala sendiri polisi-polisi tersebut melihat “para calon pengantin berpotensi” dimasa depan namun mereka sepertinya terkungkung peraturan atau “Our Indonesian Democracy” yang membuat mereka hanya bisa bertindak setelah kekerasan terjadi...setelah korban berjatuhan. Sistem yang hanya bersifat reaktif bukan preventif.

Passive Terrorist vs Active Terrorist

Kunci dari gagalnya sistem demokrasi Indonesia ada pada definisi terorisme sendiri. Apa itu terorisme dan siapa itu teroris? Kalau menurut pengalaman yang sudah-sudah, aksi terorisme dikatakan teror setelah bom meledak atau setelah korban berjatuhan. Intinya, hanya yang melukai/berpotensi melukai secara fisik dapat dikatakan aksi teror. Namun bila hal tersebut hanya sebatas situs radikal atau kebencian verbal seperti unjuk rasa diatas tadi, maka masih dianggap sebagai “Freedom of Speech.” Aneh bukan? Tapi nyatanya seperti itu. Inilah kenapa website seperti Arrahmah.com tidak pernah disentuh Tifatul Sembiring dan mengapa unjuk rasa diatas tidak mendapat kecaman dari Departemen Agama. Padahal sebagian besar staff Depag orang Muslim dan seharusnya mereka marah karena agama mereka “dinista sebagai pendukung teror.” Tapi kembali, atas nama demokrasi (atau memang simpati entahlah)...mereka dibiarkan “menyuarakan aspirasi” mereka.

Dalam perkembangan terorisme di Indonesia, ada dua tipe terorisme yang harus dibasmi: Active Terroris dan Passive Terroris. Yang selama ini dibabat hanyalah golongan Aktif. Golongan pasif dibiarkan begitu saja meskipun kontribusinya dalam menjaga kesuburan terorisme tidak kalah berbahaya.

1.Active Terrorist

Yang ini kita biasa temukan fotonya sudah tertera di halaman depan koran. Kebanyakan saat kita tahu, mereka semua sudah mati meledakkan diri “berjihad” dan ada sebagian kecil yang sempat diringkus oleh Densus 88. Orang-orang “Active Terroris” ini yang biasa kita kenal sebagai teroris. Mereka punya kebencian terhadap yang mereka anggap musuh dan mereka memiliki akses (dana/bahan kimia) dan kesempatan untuk melakukannya. Kebanyakan dari mereka kita ketahui masih memiliki sanak saudara, namun itu tidak menghalangi mereka ketika tekad mereka sudah bulat.

2.Passive Terrorist

Perlu kita ketahui sekalipun Passive Terrorist ini significant menjaga keberadaan Active Terrorist, mereka sebenarnya tidak ada link khusus dengan golongan Active. Paling mentok hanya bersimpati seperti yang dilakukan pengunjuk rasa diatas tapi masih mungkin belum siap mental untuk mati demi agama atau karena ketiadaan akses dan kesempatan.

Grup Passive sangat bervariasi mulai seperti Ormas-ormas seperti FPI atau pemimpin religi selevel Rhoma Irama. Contoh: Bayangkan misalkan Pilkada DKI Jakarta akhinya dimenangkan Jokowi-Ahok. Bagaimana perasaan umat pendukung Rhoma yang dipimpin pemimpin tidak seagamanya? Tidak terima bukan? Lalu mereka akan menyimpan ketidakpuasannya itu hingga muncul akses dan kesempatan sehingga berpotensi sebagai Active Terrorist. Namun Panwaslu melewatkan kemungkinan ini. Dengan dilepasnya Rhoma Irama, justru akan semakin mempertebal kepercayaan mereka bahwa mereka di posisi yang benar dan memiliki banyak alasan untuk berbuat onar bila hasil Pilkada tidak sesuai keinginannya. Grup pasif memiliki satu kesamaan: Bila mereka beraksi, biasanya mereka lolos dengan mudah dari jerat hukum.

Celakanya lagi, golongan pasif ini masih tidak dianggap berbahaya oleh pemerintah kita. Ketika Rhoma Irama tampil di ILC, salah satu perwakilan Parpol turut membelanya. Ketika FPI membuat kisruh, selalu masih ada Parpol yang bersimpati padanya. Parpol berbasis agama yang biasanya memberi dukungan moral pada eksistensi golongan pasif ini. Ormas agama yang selama ini dikatakan netral seperti NU atau Muhammadiyah cenderung apatis dan tidak mau berani tegas dengan ormas-ormas radikal yang bertingkah. Dimana dua organisasi raksasa ini ketika agama Islam digunakan sebagai pembenaran tragedi 9/11 oleh ormas ekstrim negeri ini?

Ada fakta ironis yang terjadi di negeri ini. Bahwa mereka yang menyuarakan kebencian secara verbal tidak ditindak sama seperti rekan-rekannya yang menyuarakan kebencian secara fisik. Padahal impact yang dihasilkan sama.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun