Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kehadiran Menhan China, Doktrin AS Akan Membawa Nuansa Baru terhadap Dialog Shangri-La

31 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 31 Mei 2019   06:17 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Baik ASEAN dan China adalah peserta perjanjian UNCLOS dan akan menjadi kepentingan bagi semua orang untuk mengikuti aturan internasional demi mencegah bentrokan di SCS. Jika pembicaraan COC memakan waktu lama atau terdilusi, seperti yang terjadi pada tahun 2002 saat pembuatan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC), situasinya akan memburuk dan dapat menyebabkan konflik besar di wilayah tersebut.

AS di bawah Presiden Donald Trump akan mengadopsi langkah-langkah yang kuat dan tegas  dalam menantang China yang sedang bangkit, khususnya di masalah SCS. Mungkin, teka-teki SCS merupakan satu-satunya masalah di mana ia bisa mendapatkan dukungan penuh dari Demokrat dan Republik.

Baru-baru ini di Senat AS Marco Rubio dari partai Republik dan Ben Cardin dari partai Demokrat memperkenalkan kembali Undang-Undang Sanksi Laut China Selatan dan Laut China Timur untuk menjatuhkan sanksi terhadap warga dan entitas China yang berpartisipasi dalam kegiatan ilegal di perairan yang disengketakan.

"Undang-undang ini tepat waktu, mengingat upaya yang berkelanjutan dari Amerika Serikat untuk melakukan kebebasan operasi navigasi dalam mendukung kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," kata Rubio dalam sebuah pernyataan di situs webnya.

Namun China menyerang Rubio dan rekan-rekannya.

"Undang-undang itu melanggar norma-norma dasar hukum internasional serta hubungan internasional dan pihak China tentu saja menolak dengan tegas," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang kepada wartawan di Beijing baru-baru ini.

"Kami mendesak pihak AS untuk tidak melanjutkan pertimbangan undang-undang tersebut agar tidak mengganggu hubungan China-AS."

Kembali ke masalah SCS, jika semua penggugat setuju untuk mengikuti UNCLOS, situasi tegang dapat dikurangi. Tetapi China mengklaim lebih dari 80 persen dari wilayah maritim tersebut yang seluas 3,5 juta kilometer persegi berdasarkan sembilan garis putus kontroversial, sumber dari semua perselisihan, sementara Vietnam --- penuntut terbesar kedua --- mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Kepluauan Spratly. 

Filipina memiliki klaim atas Dangkalan Scarborough dan Kepulauan Spratly, sementara Malaysia dan Brunei Darussalam mengklaim kedaulatan atas bagian selatan SCS dan sebagian Kepulauan Spratly.

Klaim China didasarkan pada alasan historis, bukan pada UNCLOS, yang telah ditandatangani dan diratifikasi oleh China. Klaim maritim China berdasarkan sembilan garis putus ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berpusat di Den Haag dalam putusan bersejarah di tahun 2016, tetapi China mengabaikan putusan ini.

Dengan tidak adanya oposisi yang kuat dari penuntut lain, China telah dengan berani melanjutkan kegiatannya termasuk membangun pulau-pulau ilegal, mengerahkan persenjataan dan pasukan serta mengekang hak-hak nelayan dari penuntut lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun