Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kehadiran Menhan China, Doktrin AS Akan Membawa Nuansa Baru terhadap Dialog Shangri-La

31 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 31 Mei 2019   06:17 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

*Veeramalla Anjaiah                  

            

Dialog Shangri-La (SLD), sebuah KTT pertahanan utama di Asia, di Singapura tahun ini akan lebih menarik daripada tahun-tahun sebelumnya dikarenakan tiga alasan berikut.

Yang pertama adalah bahwa menteri pertahanan nasional China akan menghadiri SLD untuk pertama kalinya dalam delapan tahun. Terakhir kali China mengirimkan menteri pertahanannya Jenderal Liang Guanglie (2008-2013) adalah pada tahun 2011. 

Pada 2 Juni nanti, Menteri Pertahanan China Jenderal Wei Fenghe diharapkan untuk berbicara mengenai peran China di kawasan Indo-Pasifik. Wei akan bertemu dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Patrick Michael Shanahan di sela-sela SLD.

Menurut penyelenggara SLD, Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS), Jenderal Wei akan menerima pertanyaan setelah pidatonya.

"Jenderal Wei Fenghe akan berbicara mengenai peran China di kawasan Indo-Pasifik pada waktu yang sangat penting bagi kawasan ini. Kehadirannya di Dialog memberikan kesempatan unik untuk hadir bersama dengan tokoh terkemuka dari PLA [Tentara Pembebasan Rakyat], " Direktur Jenderal IISS John Chipman mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Yang kedua, tentu saja, adalah masalah Laut China Selatan (SCS), salah satu jalur maritim tersibuk di dunia dan juga wilayah maritim yang paling diperebutkan.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, teka-teki SCS juga akan menjadi sorotan tahun ini karena semua penuntut,  kecuali Taiwan, dan negara-negara besar akan hadir untuk membahas masalah ini di dalam SLD. 

Panitia telah mengambil semua tindakan pencegahan untuk menghindari kekecewaan bagi Wei dengan tidak memasukkan masalah SCS di dalam agenda acara  langsung. 

Mereka bahkan telah mengatur jadwal ini (pada hari terakhir) sedemikian rupa untuk Wei sehingga ia akan berbicara setelah Shanahan agar ia dapat menanggapi semua kritik terhadap China.

Tentu saja, AS, Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Jepang, Australia, Inggris, Perancis, dan banyak negara lainnya akan mengangkat masalah SCS dan beberapa negara diperkirakan akan mengkritik tindakan-tindakan China yang selalu ilegal dan provokatif di dalam perairan SCS.

Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu diperkirakan akan mengangkat masalah SCS di SLD tahun ini. 

Bagi Indonesia, sebuah negara non-penggugat dan hanya memiliki masalah kecil dengan China di perairan Laut Natuna Utara, masalah SCS harus diselesaikan melalui negosiasi damai berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

 Pada hari Kamis (30 Mei), ada kunjungan kejutan dari Shanahan ke Jakarta. Ia tiba di Jakarta pada hari Kamis dan bertemu dengan Ryamizard beserta Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk membahas masalah SCS, keamanan regional dan rencana strategis baru AS untuk kawasan Indo-Pasifik. 

Strategi ini dirancang untuk menekan ambisi maritim China yang sifatnya expansif. Akan sangat menarik untuk mendengar tanggapan pertama dari Wei terhadap strategi baru AS ini.

Tahun ini, tuan rumah Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong akan menyampaikan pidato utama di IISS SLD ke-18. Ia mungkin akan berbicara mengenai hubungan AS-China dan peran negara-negara kecil dalam arsitektur keamanan regional.

"Kami sangat senang bahwa pada tahun dua abad Singapura, Perdana Menteri Lee Hsien Loong akan menyampaikan pidato utama pada jamuan makan malam pembukaan Dialog IISS Shangri-La pada tanggal 31 Mei nanti. 

Singapura, yang telah bertindak sebagai negara tuan rumah untuk Dialog ini sejak dimulainya pada tahun 2002, memiliki kepentingan besar dalam stabilitas kawasan dan secara konsisten bekerja keras secara diplomatis dan dalam hal menyediakan pertahanannya sendiri," Tim Huxley, direktur eksekutif IISS-Asia, mengatakan dalam sebuah pernyataan.

SLD ini diselenggarakan pada saat yang genting ketika China dan AS terlibat dalam perselisihan yang sedang berlangsung mengenai perdagangan, kebebasan navigasi, dan kebebasan terbang (overflight) atas yang berbasis pada aturan internasional. 

Hasil SLD akan relevan bagi para pemimpin ASEAN, yang akan berkumpul pada 22-23 Juni di Chiang Mai, Thailand, untuk KTT ASEAN ke-34.

Dengan meningkatnya ketegasan China, negara-negara ASEAN perlu mempercepat pembahasan Kode Etik (COC) tentang SCS dengan China. Tetapi para pemimpin ASEAN harus menekankan efektivitas COC. COC harus mengikat secara hukum dan didasarkan pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Baik ASEAN dan China adalah peserta perjanjian UNCLOS dan akan menjadi kepentingan bagi semua orang untuk mengikuti aturan internasional demi mencegah bentrokan di SCS. Jika pembicaraan COC memakan waktu lama atau terdilusi, seperti yang terjadi pada tahun 2002 saat pembuatan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC), situasinya akan memburuk dan dapat menyebabkan konflik besar di wilayah tersebut.

AS di bawah Presiden Donald Trump akan mengadopsi langkah-langkah yang kuat dan tegas  dalam menantang China yang sedang bangkit, khususnya di masalah SCS. Mungkin, teka-teki SCS merupakan satu-satunya masalah di mana ia bisa mendapatkan dukungan penuh dari Demokrat dan Republik.

Baru-baru ini di Senat AS Marco Rubio dari partai Republik dan Ben Cardin dari partai Demokrat memperkenalkan kembali Undang-Undang Sanksi Laut China Selatan dan Laut China Timur untuk menjatuhkan sanksi terhadap warga dan entitas China yang berpartisipasi dalam kegiatan ilegal di perairan yang disengketakan.

"Undang-undang ini tepat waktu, mengingat upaya yang berkelanjutan dari Amerika Serikat untuk melakukan kebebasan operasi navigasi dalam mendukung kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," kata Rubio dalam sebuah pernyataan di situs webnya.

Namun China menyerang Rubio dan rekan-rekannya.

"Undang-undang itu melanggar norma-norma dasar hukum internasional serta hubungan internasional dan pihak China tentu saja menolak dengan tegas," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang kepada wartawan di Beijing baru-baru ini.

"Kami mendesak pihak AS untuk tidak melanjutkan pertimbangan undang-undang tersebut agar tidak mengganggu hubungan China-AS."

Kembali ke masalah SCS, jika semua penggugat setuju untuk mengikuti UNCLOS, situasi tegang dapat dikurangi. Tetapi China mengklaim lebih dari 80 persen dari wilayah maritim tersebut yang seluas 3,5 juta kilometer persegi berdasarkan sembilan garis putus kontroversial, sumber dari semua perselisihan, sementara Vietnam --- penuntut terbesar kedua --- mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Kepluauan Spratly. 

Filipina memiliki klaim atas Dangkalan Scarborough dan Kepulauan Spratly, sementara Malaysia dan Brunei Darussalam mengklaim kedaulatan atas bagian selatan SCS dan sebagian Kepulauan Spratly.

Klaim China didasarkan pada alasan historis, bukan pada UNCLOS, yang telah ditandatangani dan diratifikasi oleh China. Klaim maritim China berdasarkan sembilan garis putus ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berpusat di Den Haag dalam putusan bersejarah di tahun 2016, tetapi China mengabaikan putusan ini.

Dengan tidak adanya oposisi yang kuat dari penuntut lain, China telah dengan berani melanjutkan kegiatannya termasuk membangun pulau-pulau ilegal, mengerahkan persenjataan dan pasukan serta mengekang hak-hak nelayan dari penuntut lainnya.

Misalnya, baru-baru ini, China secara sepihak memberlakukan larangan penangkapan ikan dari tanggal 1 Mei hingga 16 Agustus di Kepulauan Paracel. Larangan itu berlaku untuk nelayan dari China dan negara lainnya.

Vietnam, salah satu korban larangan memancing, mengatakan itu adalah keputusan sepihak dan melanggar DOC.

"Vietnam menentang dan dengan tegas menolak keputusan pelarangan penangkapan ikan sepihak China," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam Le Thi Thu Hang.

Kasus ini dengan jelas menjelaskan perlunya  COC yang efektif.

Adalah hal yang baik bahwa China telah setuju untuk memulai negosiasi COC dengan ASEAN. Bagaimanapun, China memiliki hubungan yang sangat baik dengan ASEAN. COC mungkin tidak akan menyelesaikan perselisihan SCS tetapi dapat menenangkan situasi dan mudah-mudahan dapat mencegah konflik.

 

* Penulis adalah jurnalis senior yang tinggal di Jakarta dan penulis buku Azerbaijan Seen from Indonesia. Ia juga merupakan pemerhati masalah sangketa Laut China Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun