Mohon tunggu...
Anita Yunita
Anita Yunita Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Lagi Mengejek Indonesia

2 Agustus 2018   07:01 Diperbarui: 2 Agustus 2018   08:27 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  

JAKARTA -- Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

INDONESIA bukan bangsa bodoh. Sebaliknya,  putra-putri Ibu Pertiwi mampu meraih prestasi gemilang di sejumlah ajang  kompetisi antarbangsa. Produk dari sektor industri pun sudah mampu  menerobos pasar internasional.

 Lebih dari itu, bangsa ini pun tidak  dalam kondisi kritis karena kebebasan mengemukakan pendapat di ruang  publik, termasuk oleh oposisi, tidak pernah dibatasi atau dibungkam,  pertanda bahwa budaya demokrasi terus tumbuh dan berkembang.

Lalu, siapa sebenarnya yang sakit? Siapa pula yang bodoh? Benar bahwa  nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sedang menggila. Juga tidak  dibantah bahwa utang luar negeri bertambah. Pun, masih ada warga yang  hidup berselimut kemiskinan walaupun jumlahnya sudah berkurang. 

Jutaan  angkatan kerja yang berstatus pengangguran terbuka adalah fakta yang  tidak ditutup-tutupi. Harga kebutuhan pokok yang kadang fluktuatif bukan  semata-mata karena kelemahan kontrol negara. Tak jarang, fluktuasi  harga lebih disebabkan mekanisme pasar dan ulah spekulan. Korupsi pun  masih marak.

Tidak berarti ragam persoalan klasik itu mencerminkan Indonesia  sebagai bangsa yang bodoh atau sakit. Pun, semua persoalan itu tidak  menyebabkan negara ini dalam kondisi kritis. 

Depresiasi rupiah yang  sempat menyentuh level Rp14.475 per dolar AS pada pekan ketiga Juli 2018  tidak akan membunuh perekonomian nasional. Posisi utang luar negeri per  April 2018 yang mencapai USD356,9 miliar atau Rp4.996,6 triliun (kurs  Rp 14.000) tidak akan membuat Indonesia bangkrut.

Jangan lupa bahwa bukan baru kali ini Indonesia dan rupiah dihadapkan  pada gejolak nilai tukar valuta. Seperti banyak negara lain, otoritas  moneter RI pun sudah sangat berpengalaman menghadapi gejolak nilai tukar  valuta. 

Lebih dari itu, turun-naik volume utang luar negeri pun bukan  isu baru. Fluktuasi volume utang luar negeri adalah konsekuensi logis  dari besar-kecil size atau skala perekonomian. Tidak semestinya  fluktuasi nilai tukar rupiah dan volume utang luar negeri itu dijadikan  isu untuk meneror publik atau menimbulkan pesimisme. 

Depresiasi rupiah  dan fluktuasi volume utang luar negeri lebih dipengaruhi oleh faktor  eksternal seperti kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, serta menjadi  dampak dari perang dagang yang dilancarkan AS terhadap mitra dagang  negara itu.

Kendati Bank Indonesia (BI) terus melakukan intervensi pasar untuk  menahan depresiasi rupiah,volume cadangan devisa negara tetap dalam takaran aman. 

Per April 2018, posisi cadangan devisa negara tercatat  124,9 miliar dolar AS atau terjadi penurunan dari posisi Maret 2018 yang  masih berjumlah 126 miliar dolar AS. Penyusutan cadangan devisa terjadi  karena digunakan BI untuk intervensi pasar. 

Namun, sisa cadangan devisa  itu masih mampu membiayai 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor plus  pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Perekonomian Indonesia pernah menghadapi situasi yang jauh lebih  berat, yakni pada krisis moneter 1998. Namun, berkat pengelolaan ekonomi  yang bijaksana lagi prudent, Indonesia bisa lolos dari situasi sulit saat itu. Negara ini tidak bangkrut.

Atau, masih ingat situasi sulit yang dihadapi Yunani beberapa tahun  lalu. Puncak krisis yang dialami Yunani pada 2015 menyeret negara itu di  ambang kebangkrutan. Toh, Yunani tidak punah. Jelang akhir Januari 2018 diberitakan bahwa perekonomian Yunani mulai pulih dan bisa mencicil utangnya.

Jadi, baik depresiasi rupiah saat ini maupun fluktuasi utang luar  negeri Indonesia jangan diasumsikan sebagai benih-benih kebangkrutan  negara. Bukankah pemerintah dan otoritas moneter terus bekerja menjaga  keseimbangan?

Memang, untuk menjaga posisi rupiah pada level yang moderat, semua  elemen masyarakat berhak atau harus mengkritisi pemerintah dan otoritas moneter agar keduanya tidak lengah. Namun, kritik atau kecaman itu  hendaknya proporsional, dan didukung data kekinian.

Ragam Pencapaian 
Sekadar untuk menghadapi gejolak nilai tukar saat ini, daya tahan  Indonesia lebih dari cukup sebagaimana tergambar dari data-data yang diumumkan BI itu. Namun, publik beberapa kali sempat menyimak pernyataan dari sejumlah orang yang cenderung mengejek bangsanya sendiri. Ada yang  menista dengan menyebut Indonesia sebagai bangsa bodoh. Lainnya  menggambarkan negara ini dalam keadaan kritis. Namun, tidak jelas benar apa pijakan mereka untuk mengejek bangsa ini.

Kalau mau dikaitkan dengan fakta tentang jumlah warga miskin, memang  tidak salah. Tetapi, patut diakui juga bahwa negara terus menggelar sejumlah program untuk memerangi kemiskinan itu. Ada progresnya walaupun  boleh saja dinilai tidak signifikan. 

Menurut Badan Pusat Statistik  (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 tercatat 25,95  juta orang. Jumlah ini memperlihatkan penurunan 633,2 ribu orang dari  sebelumnya yang 26,58 juta orang per September 2017. Maka itu,  persentase kemiskinan per Maret 2018 tercatat 9,82% ata u pertama  kalinya Indonesia mencatat angka kemiskinan satu digit.

Pengangguran pun diakui masih menjadi masalah. Pada Februari 2018,  BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) mengalami perbaikan, berada di level 5,13% atau turun dibandingkan Februari 2017  yang berada di level 5,17%. 

Jumlah TPT per Februari 2018 sebesar 6,87  juta, sedangkan per Februari 2017 mencapai 7,01 juta. Adanya progres  dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran membuktikan bahwa bangsa ini  tidak bodoh, pun tidak dalam kondisi kritis.

Simak pula catatan atau data lain yang menggambarkan pencapaian  prestasi putra-putri Ibu Pertiwi di berbagai bidang, mulai dari  pendidikan, olahraga, hingga bidang ekonomi. 

Hampir setiap tahun  siswa-siswi Indonesia mengharumkan nama bangsanya dengan mencatatkan  prestasi gemilang di ajang kompetisi internasional. 

Tahun ini giliran  Cleona Einar Maulidiva menyedot perhatian dunia di bidang matematika.  Gadis kecil kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) Maarif NU, Pucang,  Sidoarjo, ini baru kembali dari Songdo Campus Universitas Yonsei, Seoul,  Korea Selatan. 

Di sana, bocah imut ini mengikuti kompetisi matematika  tingkat dunia yang diikuti 21 negara, 14-17 Juli 2018. Menyelesaikan  soal matematika dalam bahasa Inggris, Cleona tampil sebagai juara.  

Tahun lalu Rafel Dzinun Muhammad, pelajar kelas 5 madrasah ibtidaiyah  (MI), juga mengharumkan nama bangsa di ajang International Mathematics  Contest (IMC) di Singapura, 4-7 Agustus 2017. 

Siswa MI Murni Sunan  Drajat l ini menyabet merit prize  atau juara harapan dalam olimpiade  matematika tingkat internasional itu.

Dari dunia olahraga pun tak kalah heboh. Indonesia kini punya juara  dunia catur, juara dunia lari 100 meter, dan juara dunia karate. Tiga  juara dunia menunjukkan kepada komunitas internasional bahwa anak-anak  muda Indonesia sudah terdorong untuk kompetitif dan mampu meraih juara.

Itulah yang diperlihatkan oleh Samantha Edithso,10, yang baru meraih  gelar bergengsi juara dunia "FIDE World Championship 2018 U-10" di  Minks, Belarusia; kemudian Lalu Muhammad Zohri, yang meraih medali emas  dan menjadi juara dunia 100 meter pada Kejuaraan Dunia Atletik Junior  2018 di Tampere, Finlandia; dan Fauzan alias Ozan,20, juara dunia karate  pada ajang WASO World Championship, Januari 2018 di Ceko.

Sektor industri dalam negeri juga mencatatkan progres yang  membanggakan karena sejumlah produk sudah mampu menerobos pasar  internasional atau pasar ekspor. Produk mobil dan motor yang dirakit di  dalam negeri sudah diekspor ke sejumlah negara di Asia dan Eropa. 

Bus  yang dirakit di dalam negeri juga  diekspor ke India, Sri Lanka,  Bangladesh, Pakistan, serta Fiji. Selain itu, lokomotif dan gerbong  kereta api produk PT INKA juga diekspor ke Bangladesh, Malaysia,  Filipina, dan Australia.

Indonesia bahkan sudah ekspor pesawat terbang. Karena pesawat terbang  adalah produk dalam kategori hightech, Indonesia otomatis bukan bangsa  bodoh. 

Sudah ratusan pesawat yang diekspor PT Dirgantara Indonesia (DI)  antara lain ke Thailand, Venezuela, Turki, UAE, Burkina Faso, Malaysia,  Korea Selatan, Pakistan, Guam, Senegal, dan Filipina.
J

angan juga lupa untuk menyimak data tentang kemampuan Indonesia  memproduksi dan ekspor kapal laut, termasuk kapal perang, buatan PT PAL.  Hingga kini ragam produk kapal buatan PT PAL sudah diekspor ke  Thailand, Malaysia, Filipina, dan beberapa negara di Afrika.

Kiranya, catatan tentang ragam pencapaian prestasi putra-putri Ibu  Pertiwi itu semakin menumbuhkan kepercayaan diri bagi generasi terkini. Indonesia bukan bangsa yang bodoh. Negeri ini pun tidak dalam kondisi  kritis. Komunitas internasional bahkan melihat Indonesia sebagai negeri yang sangat dinamis, berkemajuan, dan bersahabat. 

Itulah alasannya  mengapa Indonesia ditunjuk jadi tuan rumah Asian Games Ke-18 di Jakarta  dan Palembang; menjadi tuan rumah pertemuan tahunan Bank Dunia-Dana  Moneter Internasional pada Oktober 2018 di Bali, dan diberi amanah oleh  bangsa-bangsa di Asia-Pasifik untuk menjadi anggota tidak tetap Dewan  Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun