Mohon tunggu...
Anitana Widya Puspa
Anitana Widya Puspa Mohon Tunggu... -

study at FISIP UAJY Jurnalisme. \r\n " Apa yang tidak bisa terungkapkan lewat kata-kata ungkapkanlah melalui tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menemukan Passion dalam Mengajar

14 Maret 2013   00:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:49 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terpampang jelas papan besar bertuliskan Studio Cipta Irama pada dinding samping pagar sebuah rumah di Jalan Anggrek III BS 19 Solo Baru. Tampak beberapa mobil parkir berdampingan di depan rumah berukuran sedang berlantai dua tersebut. Tante Jing-Jing, begitulah nama kecil yang sering digunakan oleh para muridnya untuk memanggil pemilik nama lengkap Lai Lian. Ia adalah pengajar tunggal sekaligus pemilik studio Cipta Irama yang mengkhususkan pada permainan piano klasik. Cipta Irama, nama itu tercetus dari seorang sahabatnya yang ingin mendirikan sebuah tempat kursus piano.

Lai Lian adalah sosok pengajar sederhana dengan jeans dan kemeja yang ramah dan akrab dengan murid-muridnya. Begitu akrabnya ia dengan murid-muridnya hingga murid-muridnya merasa betah dan menganggap Cipta Irama seperti rumahnya sendiri. Kalau mereka haus mereka bisa ke dapur sendiri mengambil minum, atau kalau mereka lapar dan mau makan bersamanya, dengan senang hati ia persilakan. Lai Lian memang mengkondisikan studionya sedemikan rupa, ia merasa senang dan dihargai bila murid-muridnya bersikap nyaman daripada muridnya yang malu-malu.

Cerita menarik muncul ketika semasa kecilnya ia tak pernah berpikir untuk menjadi pengajar apalagi memainkan piano. Bagi Jing-Jing ayahnya selalu menjadi orang yang memberikan pengaruh terbesar  dalam keputusannya untuk mendalami permainan piano klasik. Kegemaran ayahnya dalam mendengarkan musik klasik setiap malam telah memperkenalkan dan menyadarkan dirinya akan keindahan melodi dari musik klasik. Ditambah lagi cerita-cerita yang dibagikan ayahnya mengenai pengalamannya mengajar dan menjadi pengajar yang disegani muridnya mengarahkannya  untuk berpikir menjadi seorang pengajar yang baik.

Sedikit bernostalgia, piano pertama yang ia miliki merupakan hadiah dari ayahnya atas niat dan kerja kerasnya. “Awalnya saya berlatih piano menggunakan piano milik teman papa, papa janji membelikan saya piano sendiri jika saya rajin berlatih piano. Saya terus latihan piano di tempat teman papa, eh nggak sampai lama saya dibelikan piano,” ujar Jing . Selanjutnya, piano itu  ia gunakan untuk terus berlatih dan mengembangkan kemampuan bermain  piano. Berbekal sedikit ilmu piano,  selulus SMA  Jing mulai mendalami permainan piano di Royal School of Music

Ada banyak hal yang menyebabkan suatu profesi terasa berbeda, salah satunya adalah passion.  Passion dalam diri Lai Lian berawal dari sebuah ketidaksengajaan. “Waktu itu, Cik Me kena kecelakaan kecil, terus gak bisa ngajar kan, jadinya muridnya dipindahkan ke Jing,” jelasnya. Dari ketidaksengajaan itu, ia justru menemukan passion dalam mengajar. Ia lantas menjadikan mengajar bukan sekedar profesi untuk mencari nafkah melainkan hal yang mengasyikkan. “ Makin lama dipikir, mengajar itu kok asyik, ada interaksi dengan murid, bisa tambah pinter, tambah pengetahuan, banyak manfaatnya,” ungkapnya. Mengajar baginya tidak hanya untuk mendapat keuntungan materi melainkan kepuasan. Kepuasan itu ia rasakan ketika orang lain berhasil menerima kebaikan yang dibagikannya, melihat muridnya yang menjadi berkembang kemampuannya dan mengalami perubahan positif.

“Love what you do, do what you love “, kalimat itu tepat menggambarkan hal yang dirasakan Lai Lian dalam mengajar. Mencintai apa yang kamu kerjakan dan mengerjakan hal yang kamu cintai, dua kata itu erat hubungannya satu sama lain. Tak semua orang bisa mencintai pekerjaannya tetapi tetap bekerja dengan alasan penghasilan. “ Ada orang yang aduh aku males kerja, tapi kalau gak kerja, aku gak dapet uang,” katanya. Lai Lian merasa dirinya beruntung karena telah menemukan passion itu.

Dirinya telah mengganggap muridnya seperti anaknya sendiri yang butuh untuk didukung, dibimbing, dan diarahkan. Sebagai seorang pengajar tentunya ia berkeinginan menularkan dan memberikan segenap kemampuannya kepada muridnya. Tujuan akhirnya bukan hanya para muridnya bisa bermain piano saja, namun kepada prosesnya. Ada  tahapan yang harus dilalui selama berproses. Prinsip no pain no gain berulang-ulang ia tanamkan pada muridnya agar mereka memiliki semangat juang yang tinggi. Bahwa dengan latihan yang rajin, tekun, dan cerrmat, hasil yang diperoleh akan maksimal.

Selain itu dirinya belajar banyak dari Bethoven, seorang musisi hebat yang sangat ia kagumi. “Bethoven itu dari kecil kalau tidak main piano dia dipukuli ayahnya. Setelah dia tuli, dia tidak patah semangat. Padahal bagi seorang musisi menjadi tuli pasti membuat terpuruk, tapi lain halnya dengan Bethoven, ia malah bisa menumbuhkan kepekaan hingga dia berhasil menciptakan melodi yang indah meskipun tuli,”terang Jing-Jing.

Mengajar  bisa dikatakan bukan perkara mudah, setiap murid memiliki sifat berbeda-beda. Perlu baginya untuk mencoba mengerti mereka dengan berpikir di posisi mereka dan mengerti dunia mereka. Dalam menghadapi murid yang tidak patuh  ada banyak pilihan, namun dia memilih tidak menyikapinya dengan emosional.” Saya berikan tepuk tangan meriah kepada murid yang main asal-asalan  ketika  selesai memainkan lagu. Murid itu akan merasa mungkin saya aneh, tapi berikutnya dia pasti merenungkan kenapa ya, dan kemudian secara sendirinya menyadari kesalahannya,”jelas wanita kelahiran Surakarta ini.

Kebanggan besar begitu terasa ketika murid-muridnya berhasil menjuarai kompetisi. “Ada yang berhasil juara harapan 3 dalam kompetisi di Surabaya. Untuk ukuran Solo, dia bisa juara, menurut saya dia luar biasa. Solo memang bukan gudangnya permainan klasik ya, pusatnya kan di Surabaya dan Jakarta,”tandasnya.

Jing-Jing memandang tugas sorang guru yang baik adalah tetap mengarahkan muridnya seburuk apapun menjadi ke arah yang lebih baik. Kepedihan hatinya muncul tatkala murid maupun orang tua muridnya tidak merasakan ada kebaikan yang berusaha ia berikan. Ia telah bersikap seprofesional mungkin namun tidak bisa dipahami mereka. Ia sangat tidak mengharapkan kata-kata “tidak bisa memainkan atau terlalu susah” keluar dari mulut muridnya.

link audio : https://soundcloud.com/stream

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun