Mohon tunggu...
Anita Kencanawati
Anita Kencanawati Mohon Tunggu... Penulis - Ketua WPI (Wanita Penulis Indonesia) Sumut

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Linangan Air Mata Mewarnai Lomba Menulis Surat untuk Ibu

15 Desember 2023   05:00 Diperbarui: 15 Desember 2023   05:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dokumen Sastry Bakry

Linangan Air Mata Mewarnai Lomba Menulis Surat untuk Ibu

Mengharukan. Suasana itulah yang terasa saat berlangsung acara presentasi 40 nominator Lomba Menulis Surat untuk Ibu, Kamis (14-12-2023), di aula  Dinas Kebudayaan Sumbar jalan Samudra Padang.

Suasana itu, membuat Ketua DPD SatuPena Sumbar Sastri, tak kuasa ikut menahan air matanya.

"Suasananya sangat mengharukan," ungkap Sastri Bakry, berbagi cerita kepada penulis  lewat handphone, Jumat dini hari, (15/12).

Sebanyak 40 nominator Lomba Menulis Surat untuk Ibu berlinangan air mata  mempresentasikan suratnya di hadapan dewan juri yang terdiri dari Akademisi Universitas Andalas Padang Dr. Hasanuddin, M.Si, Ketua DPD SatuPena Sumbar Sastri Bakry dan Wartawan Senior, Nofrialdi Nofi Sastra.

"Mereka menyampaikan bagaimana perlakuan dan derita yang dialaminya bersama sang ibu," kata Sastri Bakry.

Seperti surat yang dipresentasikan Aprida Kristin Sakarebau, siswa SMK 3 Kepulauan Mentawai. Aprida menceritakan perjuangan hidupnya dengan ibunya, yang ditinggalkan sang ayah. Ibunya bercerai dengan ayahnya. Hal itu membuat sang ibu berjuang dengan keras memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang lebih mengharukan adalah ketidakpedulian sang ayah yang sudah kawin dengan perempuan lain. Meski sang ayah tinggal tidak jauh dari rumah, akan tetapi tidak pernah peduli sedikitpun dengan Aprida.

Kondisi itu semakin diperparah dengan bencana gempa bumi yang melanda Mentawai beberapa tahun yang lalu. Keadaan keluarga Aprida menjadi semakin memilukan.

Kisah yang lebih menyedihkan dipresentasikan nominator Meysha Rantika Campako. Diceritakan Meysha, awal penderitaannya ketika sang ibu wafat. Seminggu kemudian, sang ayah menyusul meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Sejak itu, segala cacian, hinaan dan cercaan selalu dikatakan orang dekat di keluarga ibunya. Meysha menjadi sangat terpukul dengan perlakuan tersebut. Membuat dirinya hampir gila  menghadapi tantangan dan ujian hidup yang dialaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun