Mohon tunggu...
ANISSATUL HASSANAH
ANISSATUL HASSANAH Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Di antara kata-kata, warna, dan aksen baru. Passionate tentang menulis, desain, dan petualangan linguistik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak SMA Tidak Bisa Perkalian?; Kemampuan Dasar Yang Tersingkirkan di Tengah Pendidikan

4 Juli 2025   21:58 Diperbarui: 4 Juli 2025   21:58 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat permasalahan anak SMA yang kesulitan dalam perkalian, kita dihadapkan pada beberapa pertanyaan mendasar mengenai efektivitas dan arah sistem pendidikan kita. Ini bukan hanya tentang angka-angka, tetapi tentang fondasi kognitif dan keterampilan hidup yang mumpuni.

Jelas bahwa masalah perkalian pada jenjang SMA adalah gejala dari pondasi yang rapuh di jenjang pendidikan sebelumnya, khususnya sekolah dasar dan menengah pertama. Sistem pendidikan harus memastikan bahwa penguasaan konsep dasar aritmatika termasuk perkalian benar-benar tuntas sebelum siswa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Ini berarti memberikan waktu yang cukup untuk latihan, menggunakan metode yang bervariasi (termasuk permainan, visualisasi, dan drill), serta secara rutin melakukan asesmen formatif untuk mengidentifikasi dan mengatasi kesulitan siswa sejak dini. Kurikulum perlu dirancang agar ada konsistensi dan kesinambungan dalam pengajaran keterampilan dasar ini dari satu tingkat ke tingkat berikutnya.

Pendidikan matematika yang ideal harus menyeimbangkan antara pemahaman konseptual dan penguasaan keterampilan prosedural. Memahami "mengapa" di balik perkalian (misalnya, sebagai penjumlahan berulang atau luas area) sama pentingnya dengan menguasai "bagaimana" melakukannya dengan cepat dan akurat. Jika penekanan terlalu berat pada salah satu aspek, maka kualitas pembelajaran akan terganggu. Guru perlu dilatih untuk mengintegrasikan kedua aspek ini, memastikan bahwa siswa tidak hanya menghafal fakta perkalian tetapi juga memahami maknanya dan dapat menerapkannya dalam berbagai konteks.

Peran teknologi sebagai alat bantu, bukan pengganti, juga menjadi sorotan. Teknologi harus diintegrasikan secara bijak dalam pembelajaran. Kalkulator dan perangkat lunak matematika dapat membantu siswa dalam mengeksplorasi konsep yang lebih kompleks atau melakukan perhitungan yang memakan waktu, tetapi tidak boleh menggantikan pengembangan kemampuan berhitung mental. Pendidikan harus mengajarkan kapan dan bagaimana menggunakan teknologi secara efektif, sambil tetap menekankan pentingnya kemampuan manual. Misalnya, guru dapat menetapkan batasan penggunaan kalkulator untuk soal-soal tertentu atau mendorong siswa untuk mencoba menghitung secara mental sebelum menggunakan alat bantu. Guru adalah garda terdepan dalam proses pendidikan. Mereka perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang materi yang diajarkan, termasuk strategi pengajaran yang efektif untuk kemampuan dasar. Pelatihan berkelanjutan bagi guru, khususnya dalam pedagogi matematika dan identifikasi kesulitan belajar, sangat krusial. Guru juga perlu dibekali dengan kemampuan untuk menginspirasi siswa dan mengubah persepsi negatif terhadap matematika membuatnya relevan dan menarik. Dan yang paling penting ialah bagaimana keluarga dapat berkontribusi bersama lembaga formal dalam menjamin mutu pendidikan pada anak anak sejak mereka berusia dini. Sekolah dapat mengadakan lokakarya atau seminar untuk orang tua tentang pentingnya penguasaan kemampuan dasar lalu mengaplikasikan dengan menanamkan pemahaman bahwa numerasi adalah keterampilan hidup yang esensial sama pentingnya dengan literasi bahasa. Ini berarti mengintegrasikan konsep perkalian dalam berbagai mata pelajaran (misalnya, menghitung proporsi dalam sains, memahami skala dalam seni, atau menganalisis data dalam ekonomi) dan menunjukkan relevansinya dalam kehidupan nyata. Tidak hanya itu, lembaga formal seperti sekolah juga perlu memberikan tips tentang cara mendukung anak belajar matematika di rumah, dan membangun komunikasi yang efektif antara guru dan orang tua. Ketika sekolah dan keluarga bekerja sama, maka lingkungan belajar siswa akan lebih kondusif.Dari sudut pandang sosiologi, kita melihat bahwa masalah ini bukanlah sekadar kegagalan individual, melainkan cerminan dari struktur sosial yang lebih luas. Pergeseran dari penekanan pada keterampilan dasar menuju informasi instan dan penggunaan teknologi tanpa batas telah menciptakan lingkungan di mana penguasaan perkalian secara mental tidak lagi dianggap prioritas. Kurikulum yang padat dan metode pengajaran yang terkadang kurang seimbang antara pemahaman konseptual dan latihan keterampilan juga turut memperparah kondisi ini.

Namun, refleksi kependidikan memberikan kita peta jalan untuk memperbaiki keadaan. Solusi tidak terletak pada penghapusan teknologi atau kembali ke metode pengajaran usang, melainkan pada integrasi yang cerdas dan penekanan kembali pada pentingnya fondasi yang kokoh. Ini membutuhkan penguatan pengajaran dasar sejak dini, penyeimbangan antara pemahaman konsep dan penguasaan keterampilan, pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu yang bijaksana. Peningkatan kualitas dan profesionalisme guru, evaluasi yang komprehensif, kolaborasi erat antara sekolah dan keluarga, serta pembentukan budaya numerasi yang kuat di seluruh lapisan masyarakat adalah langkah-langkah krusial yang harus diambil.

Mengembalikan penguasaan perkalian dan kemampuan dasar lainnya ke dalam arus utama pendidikan bukan hanya tentang meningkatkan nilai matematika siswa. Ini adalah tentang membekali generasi muda dengan keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan kepercayaan diri numerik yang akan sangat mereka butuhkan dalam menghadapi tantangan di masa depan, baik dalam studi lanjutan, karier, maupun kehidupan sehari-hari. Jika kita gagal mengatasi masalah ini, kita berisiko menciptakan generasi yang, meskipun cakap dalam menggunakan teknologi canggih, rapuh dalam fondasi kognitif yang paling mendasar.

Oleh karena itu, ini adalah seruan bagi semua pemangku kepentingan pemerintah, pendidik, orang tua, dan masyarakat luas untuk bersama-sama menyadari urgensi masalah ini dan berkomitmen untuk memastikan bahwa kemampuan dasar tidak lagi tersingkirkan, melainkan menjadi pilar utama dalam pembangunan pendidikan yang kokoh dan relevan. Masa depan literasi numerik dan kemajuan bangsa kita sangat bergantung pada kemampuan kita untuk mengatasi tantangan ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun