Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan manusia. Sejak dahulu para peneliti sudah melakukan berbagai macam penelitian untuk menggali ilmu baru atau pengetahuan baru entah itu ilmu filsafat, ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu matematika, atau bahkan ilmu politik. Setiap bidang ilmu berkontribusi terhadap perubahan berkelanjutan pada manusia. Seiring dengan perubahan kecil hingga perubahan secara besar besaran, Terlihat bahwa pendidikan semakin memprihatinkan terutama di Indonesia. Salah satu permasalahan yang sering terjadi ialah banyak siswa di Indonesia yang kehilangan minat serta antusias dalam pembelajaran apalagi dalam perhitungan matematika. Apabila hal tersebut terjadi sejak dalam tahap perkembangan (sekolah dasar, sekolah menengah pertama) maka dapat berdampak pada perkembangan mereka ketika dewasa nanti. Dalam hasil survei PISA 2022, 82% anak anak berusia 15 tahun tidak dapat memahami matematika dengan baik ( perkalian dasar).
Terlihat apabila tanpa penguasaan yang kokoh atas perkalian, siswa akan menghadapi hambatan serius dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih kompleks, seperti aljabar, geometri, kalkulus, bahkan statistika. Lebih dari itu, kemampuan berhitung cepat dan akurat, termasuk perkalian, sangat vital dalam kehidupan sehari-hari mulai dari menghitung belanjaan, mengelola keuangan pribadi, hingga memahami data dan informasi yang disajikan dalam berbagai konteks. Jika seorang siswa SMA yang seharusnya berada pada puncak kematangan kognitif dalam jenjang pendidikan menengah masih berjuang dengan tabel perkalian dasar, maka ada indikasi kuat bahwa fondasi matematika mereka rapuh sejak mereka bersekolah dasar.Â
Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan kritis, Mengapa kemampuan dasar seperti perkalian bisa terabaikan di jenjang pendidikan setinggi SMA? Apakah ini karena pergeseran fokus kurikulum, penggunaan teknologi yang berlebihan, perubahan metode pengajaran, atau justru faktor sosiologis dan psikologis yang mempengaruhi motivasi belajar siswa?
Analisis Sosiologi
Fenomena anak SMA yang kesulitan perkalian tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan budaya yang melingkupinya. Dari perspektif sosiologi pendidikan, ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan akar permasalahan ini.Â
Pertama, peran keluarga dan lingkungan sosial dalam menimbulkan kesenangan akan belajar. Keluarga memegang peran penting dalam menanamkan kebiasaan belajar dan memfasilitasi lingkungan yang mendukung pengembangan kemampuan dasar. Kurangnya stimulasi di rumah, baik itu melalui permainan edukatif, diskusi, atau latihan sederhana dapat memperburuk masalah. Selain itu, jika orang tua sendiri kurang menyadari pentingnya penguasaan perkalian atau bahkan menunjukkan sikap apatis terhadap matematika sehingga hal ini dapat mempengaruhi persepsi dan motivasi belajar anak. Lingkungan sosial yang kurang mendukung budaya belajar dan eksplorasi intelektual juga dapat berkontribusi pada penurunan motivasi siswa untuk menguasai kemampuan dasar.
Kedua, ketergantungan terhadap teknologi yang berlebihan. Munculnya aplikasi seperti Tiktok, Instagram, Facebook atau bahkan game game online membuat anak anak lebih senang menghabiskan waktu di depan layar. Hal itu terjadi karena rangsangan yang diterima dalam otak berbeda, mereka melihat tanpa harus berpikir lain halnya ketika mereka menghitung matematika. Tidak heran, ketika diberi asupan video menarik dan pendek, dopamine di otak cenderung meningkat sehingga memberikan rasa ketergantungan terhadap suatu hal hingga terkadang tidak sadar atau bahkan tidak bisa melepaskannya. Di era teknologi yang serba instan, tidak heran terdapat pula alat alat canggih yang membuat mereka semakin malas untuk berpikir menggunakan otaknya. Â Ketersediaan kalkulator di gawai pintar, komputer, dan bahkan perangkat ujian, telah menciptakan ketergantungan yang signifikan. Meskipun teknologi dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempercepat perhitungan kompleks dan memvisualisasikan konsep, penggunaannya yang berlebihan tanpa disertai pemahaman dasar dapat mengikis kemampuan berhitung mental. Siswa mungkin tidak lagi merasakan urgensi untuk menghafal tabel perkalian atau memahami logika di baliknya karena setiap kali mereka menghadapi soal perkalian, mereka bisa langsung mengandalkan kalkulator. Ini bukan berarti teknologi itu buruk, tetapi penggunaannya perlu diatur agar tidak menjadi penghalang bagi pengembangan kemampuan kognitif dasar.
Ketiga, struktur dan tekanan kurikulum di Indonesia yang masih berorientasi pada nilai akhir untuk mencapai target tanpa mempertimbangkan proses yang terjadi ketika mempelajari suatu hal. Kurikulum pendidikan seringkali padat dan berorientasi pada pencapaian target materi yang luas dalam waktu singkat. Akibatnya ada kecenderungan untuk bergerak cepat dari satu topik ke topik lain tanpa memberikan waktu yang cukup bagi siswa untuk benar-benar menginternalisasi konsep dasar. Guru mungkin merasa tertekan untuk mengejar materi sehingga latihan berulang dan penguatan konsep dasar, seperti perkalian, seringkali diabaikan. Fondasi yang lemah di jenjang sekolah dasar atau menengah pertama akan terakumulasi dan semakin terlihat jelas ketika siswa mencapai jenjang SMA di mana konsep matematika semakin abstrak dan membutuhkan pemahaman yang kuat dari operasi dasar. Tidak hanya itu, beberapa dekade terakhir telah menyaksikan pergeseran metode pengajaran dari yang tradisional (misalnya, drill dan latihan berulang) ke pendekatan yang lebih konstruktivis dan berpusat pada siswa. Meskipun pendekatan ini memiliki banyak manfaat dalam mendorong pemikiran kritis dan pemecahan masalah, terkadang penekanan pada penemuan  dan proyek dapat mengabaikan kebutuhan akan latihan berulang untuk mengotomatisasi keterampilan dasar. Jika guru tidak mampu menyeimbangkan kedua pendekatan ini, siswa mungkin kehilangan kesempatan untuk menguasai perkalian secara otomatis, yang sangat penting untuk efisiensi berpikir matematis. Kurangnya pelatihan guru dalam mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan kemampuan dasar juga bisa menjadi faktor.
Terakhir, Â Sosiologi melihat bagaimana siswa membangun identitas mereka dalam kaitannya dengan subjek akademik. Jika matematika dipersepsikan sebagai mata pelajaran yang sulit, membosankan, atau tidak relevan, motivasi siswa untuk menguasainya akan rendah. Stigma "tidak bisa matematika" dapat menjadi self-fulfilling prophecy, di mana siswa yang kesulitan perkalian sejak dini mungkin menyerah dan merasa tidak mampu sehingga menghambat kemajuan mereka di masa depan. Tekanan dari teman sebaya atau media sosial yang mungkin meremehkan pentingnya kemampuan akademik juga dapat mempengaruhi persepsi ini.
Refleksi Kependidikan Atas Masalah yang Terjadi