Setiap kali saya melewati kawasan tambang batubara di Aceh Barat, ada rasa sesak di dada yang sulit saya sembunyikan. Debu halus beterbangan, menempel di baju, merayap ke paru-paru. Warga sekitar menyebutnya "debu maut". Anak-anak batuk tak kunjung reda, sawah-sawah mengering, sungai berwarna cokelat pekat. Tapi di balik penderitaan itu, laporan keuangan perusahaan tambang justru menampilkan angka-angka fantastis miliar demi miliar rupiah mengalir ke kantong investor. Batubara benar-benar jadi emas hitam bagi pemodal, tapi jadi penyakit untuk rakyat.
Di saat rakyat dicekik polusi, perusahaan tambang sering tampil bak "dermawan" dengan membagi-bagi sembako, menggelar lomba 17 Agustus, atau menyumbang kurban tiap Iduladha. Mereka menyebutnya tanggung jawab sosial, padahal sejatinya itu hanyalah charity amal sesaat untuk menutup bau busuk. Charity ibarat obat pereda nyeri : memberi rasa lega sebentar, tapi tidak menyentuh akar persoalan. Rakyat butuh solusi permanen, bukan sekadar bingkisan yang habis dalam sehari.
Sebenarnya, yang wajib dilakukan perusahaan bukan charity, melainkan CSR (Corporate Social Responsibility). Bedanya jauh. CSR adalah tanggung jawab hukum dan moral perusahaan untuk memperbaiki kerusakan dan dampak negatif dari usahanya. Ada regulasi jelas: UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 menyatakan setiap perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam wajib melaksanakan CSR. Artinya, PT Mifa Bersaudara dan perusahaan tambang lainnya di Aceh tidak bisa sekadar membagi sembako lalu mengklaim sudah peduli. Mereka wajib mengatasi polusi udara, wajib menyehatkan kembali sungai yang tercemar, wajib memastikan rakyat tidak jadi korban.
Namun apa yang terjadi? CSR sering disulap menjadi charity. Yang diperlihatkan hanya kegiatan seremonial: foto-foto manis penyerahan bantuan, spanduk besar dengan logo perusahaan, berita di media lokal yang mengulas "kepedulian" mereka. Sementara itu, data kesehatan masyarakat di sekitar tambang menunjukkan peningkatan kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) (Sumber: Dinas Kesehatan Aceh Barat, 2023). Sawah-sawah gagal panen karena tanah tercemar limbah tambang. Sungai Meureubo tak lagi jernih, melainkan penuh endapan lumpur hitam (Sumber: WALHI Aceh, 2022). Apakah perusahaan menanggung biaya pengobatan warga? Apakah mereka melakukan pemulihan ekologis? Nyatanya tidak.
Ironisnya, setiap kali ada kritik, perusahaan berdalih telah menjalankan CSR. Pernah salah satu petinggi PT Mifa berkata bahwa perusahaan telah berkontribusi pada pembangunan daerah melalui program-program sosial. Tapi pertanyaannya, apakah lomba tarik tambang atau pemasangan lampu jalan bisa menghapus penyakit yang diderita anak-anak akibat menghirup debu batubara setiap hari? Jawaban jujurnya: tidak. Itu hanya kosmetik, sekadar menutup wajah penuh dosa agar tetap tampak segar di depan publik.
Inilah yang membuat saya sebagai aktivis sosial kemanusiaan geram. CSR telah dipreteli maknanya menjadi sekadar alat pencitraan. Padahal, konsep CSR yang sejati justru menuntut perusahaan melakukan sesuatu yang jauh lebih besar: menanggung biaya kesehatan masyarakat terdampak, membangun fasilitas pengendali polusi, merestorasi lahan yang rusak, dan menciptakan alternatif ekonomi berkelanjutan untuk warga. Kalau hanya sekadar charity, itu bukan tanggung jawab sosial itu cuma "uang pelicin" untuk meredam protes rakyat.
Maka, mari kita ingatkan kembali. Batubara boleh jadi memberi keuntungan bagi investor, tapi perusahaan jangan pernah menutup mata bahwa batubara juga menyisakan penyakit, luka, dan air mata bagi rakyat. CSR bukan pilihan, melainkan kewajiban. Charity bukan solusi, melainkan pelarian. Saatnya rakyat bersuara lebih lantang, menuntut keadilan, dan memastikan bahwa setiap butir batubara yang diangkut keluar dari perut bumi Aceh tidak dibayar dengan paru-paru anak-anak kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI