Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rumput Laut Sebagai Sumber Pendapatan Alternatif (Potret dari 4 Daerah di Sulsel)

27 Desember 2015   11:58 Diperbarui: 27 Desember 2015   13:35 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ringkasan

Rumput laut merupakan salah satu potensi menjanjikan di Indonesia sebagai negara maritim. Setiap tahun produksi rumput laut Sulsel rata-rata menghasilkan 1,5 juta ton dengan nilai mencapai 1,9 juta dolar Amerika. Rumput laut produksi Sulsel sebagian besar di ekspor ke Philipina, China, Thaiwan, dan Hongkong. Pada tahun 2015, KATALIS melakukan penelitian mengenai value chain rumput laut di empat Kabupaten di Sulsel yakni Takalar, Maros, Pangkep dan Barru.

Penelitian mengenai value chain ditujukan untuk menilai semua kegiatan dan stakeholders serta hubungannya dalam rantai pasok, dengan tujuan membantu untuk menengahi in-efisiensi seperti variabilitas, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sektor rumput laut merupakan potensi besar yang memerlukan sentuhan kebijakan khusus, agar para petani rumput laut dapat meningkatkan lebih sejahtera.

Masalah Utama di Level Produksi dan Pemasaran

Berbagai permasalahan dalam hal produksi rumput laut terjadi di semua tingkatan, mulai proses pra produksi, hingga pemasaran. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan budidaya, ketersediaan bibit, permodalan, tenaga kerja dan lahan, alat-alat budidaya dan pemasaran, serta kondisi saat panen, pasca panen dan harga jual. Dari semua tingkatan tersebut, ditemukanlah masalah mendasar di setiap daerah yang secara ril dirasakan oleh petani rumput laut. Berikut dijabarkan mengenai permasalahan yang terjadi di empat kabupaten di Sulsel;

  1. Pra Produksi

Petani rumput laut di empat kabupaten masih mengeluhkan mahalnya peralatan saat melakukan budidaya. Kegiatan pra produksi petani/pembudidaya rumput laut membutuhkan alat budidaya seperti tali ris, plampung, sampan, para-para, waring, tenda, linggis, bambu, dan lain-lain. Bahan utama yang dibutuhkan petani adalah tali dan plampung. Bila akan membeli tali dengan jumlah yang banyak, maka petani/pembudidaya membelinya di Makassar atau kota kabupaten seperti petani rumput laut di Punaga dan Laikang yang umumnya membeli di Makassar atau kota Takalar.


Namun, bila membeli tali yang jumlahnya sedikit, mereka membelinya di Cikoang saja atau beberapa penjual di desa masing-masing. Pembudidaya Maros-Pangkep misalnya membeli Tali di Makassar atau di kota Pangkajene demikian pula halnya di Barru. Selisih harga dilokasi petani di empat daerah tesebut sekitar Rp 5. 000 sampai Rp 10.000 per roll. Untuk 1 roll tali biasanya antara 3 sampai 7 bentangan tergantung panjang bentangannya. Umumnya setiap bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan antara 5 sampai 10 tahunan.

Kalau saja tali tersebut dibeli di Makasar maka perbedaan nilai yang diperoleh sekitar Rp. 400.000 - Rp. 600.000, Keadaannya tidak berbeda beberapa peralatan lain. Hanya plampung yang hampir setiap saat di ganti untuk jumlah tertentu. Untuk investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1 hingga 2 kali panen untuk mengembalikan modalnya.

Masalah lainnya pada akses bibit. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di empat daerah umumnya adalah e-Cottoni atau atau dengan nama lain Kappapicus alfarezi, petani umumnya menyebutnya katonik. Akan tetapi di Kabupaten Takalar jenis rumput laut yang dibudidayakan lebih bevariasi, selain cottoni juga terdapat jenis rumput laut jenis eucheumma lain seperti e-spinosum (SP) dan e-edule. Dua jenis rumput laut ini dihargai dipasar dengan harga yang lebih rendah dibanding dengan katonik.

Misalnya di Takalar bila katonik ditingkat petani dijual dengan harga Rp 7.000/kg kering maka jenis SP dan edule dengan harga Rp 6.000/kg. Namun demikian di Takalar sebagian petani menyukai membudidayakan jenis ini karena lebih tahan terhadap perubahan musim, dan bibitnya mudah diperoleh. Harga bibit cukup mahal, terutama di musim kemarau. Sehingga petani terpaksa harus meminjam uang pada pedagang.

Hampir semua petani pada saat awal, membeli bibit ditempat lain dengan harga Rp 3000 – 3500 per kg basah. Setiap bentangan membutuhkan sekitar 5- 7 kg bibit. Untuk setiap 100 kg dapat digunakan untuk sekitar 15 bentangan. Pada beberapa lokasi upaya pembibitan sendiri sudah ada yang melakukan baik secara individu maupun secara kelompok. Bahkan di Barru sudah ada upaya pembibitan yang melibatkan kelompok perempuan. Tetapi ketersediaan bibit pada musim tertentu mengalami kekurangan, sehingga petani mendatangkan bibit dari lokasi/daerah lain seperti Jeneponto, Bantaeng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun