Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekisah Rindu yang Kian Berkembang

17 Mei 2019   09:55 Diperbarui: 17 Mei 2019   11:38 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tanaman-tanaman itu kini layu. Menyisakan reranting yang kering. Dengan dedaunan yang sudah menguning. Hanya beberapa helai daun yang tampak masih hijau, pada seonggok batang yang terlihat tak mampu lagi menopang.


Tanaman-tanaman itu adalah milik bapak. Hampir setiap hari, sepulang kerja, bapak selalu membawa tanaman baru. Bapak kemudian akan menanamnya di halaman depan rumah. Kegiatan yang menjadi kebiasaan bapak semenjak beliau masih ada.


Jika bunga-bunga mekar dari tetumbuhan itu, bapak akan tersenyum senang. Memetiknya beberapa tangkai. Menciumi aroma wanginya yang menyerbak. Demikian pula denganku. Aku pun akan turut senang. Meski aku malas merawat bunga-bunga milik bapak, tetapi aku akan sangat menyukainya jika mereka telah kembang. Tak suka bila orang lain memetiknya sembarang. Tanpa izin. Apalagi, jika ada anak-anak kecil yang dengan beringas memetik tunas-tunas bunga yang masih kecil.


Sedangkan ibu, beliau suka sekali memetik beberapa bunga melati atau bunga kaca piring untuk dijadikan pengharum ruangan. Menyimpannya ke dalam gelas berisi air dan menyimpannya di setiap sudut ruangan. Atau, menebarnya di ranjang. Bak pengantin baru yang cintanya baru mekar. Tapi tidak, ibu juga menaruhnya di ranjang milikku atau saudaraku yang lain. Tentu saja, agar kamar harum menawan.


Aku menatap tetumbuhan yang layu itu. Ada desir kerinduan yang menyergap di dada. Lama sekali aku tak menjejakkan kaki di rumah ini. Lebih tepatnya, semenjak bapak sakit-sakitan dan aku memutuskan untuk merantau ke luar negeri. Lima tahun aku tak pulang. Dan hari ini, adalah hari keduaku berada di teras depan, menyaksikan bunga-bunga bapak yang tak lagi kembang.


Setahun yang lalu, bapak pergi. Aku tak di sisinya. Sebuah penyesalan yang tampak begitu nyata menggerogoti relung hati terdalam. Siapa yang akan senang? Jika saat orang-orang yang tersayang pergi ke keabadian, lantas kita tengah jauh tak di hadapan!


"Wedang jahe, Nduk," ucap ibu membuyarkan lamunan.


"Terima kasih, Bu," balasku lirih.


Aku menerima segelas wedang jahe dari tangan ibu, kemudian menaruhnya di lantai. Sementara ibu, beliau duduk di sisiku yang tengah mengenang bapak dengan menatapi tanaman di hadapan.


Aku memang menyukai wedang jahe. Aromanya yang wangi, serta hangatnya membuat nyaman tenggorokan, juga badan. Dan, sejak kecil ibu sering membuatkanku wedang kesukaanku itu. Selain wedang jahe, ibu pun sering membuatkanku kunyit asam. Awalnya, sebab haidku yang sering tak lancar. Ibu menyarankanku untuk meminum jamu tradisional yang barangkali sudah jarang orang-orang minati itu. Tapi sejak itu, aku menjadi suka. Bahkan wedang jahe dan kunyit asam seperti menjadi minuman andalan buatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun