Astaghfirullah, kata-kata apa yang sudah keluar dari mulutku. Kenapa aku tega menyakiti hati ibu. Ah, ibu andai ibu tak terlalu berlebihan mengkhawatirkanku, kata-kata kasar seperti itu pasti tidak akan keluar dari mulutku. Aku menangis kecewa dan menyesali apa yang sudah kulakukan. Selama seharian aku hanya mengurung diri di kamar. Ibu berteriak memanggil pun aku tak menghiraukannya. Mas Hari, kusuruh membatalkan rencananya untuk datang.
Sejak kejadian hari itu, aku sedikit canggung setiap kali berhadapan dengan ibu. Sudah beberapa hari aku lebih banyak diam, aku juga tidak lagi mengobrol sama ibu seperti yang sebelumnya sering kami lakukan. Ya, meskipun aku sering jutek tapi setidaknya aku tetap bersikap baik pada ibu. Beberapa hari ini aku seperti mengasingkan ibu. Bukan karena menyalahkan sikapnya yang terlalu mengkhawatirkanku tapi karena aku malu atas ucapanku waktu itu. Aku bahkan tak memikirkan perasaan ibu.
Aku menikmati senja, membayangkan harapanku yang tertunda. Bukan tertunda, bahkan mungkin sudah pergi. Mas Hari, aku tak lagi memikirkannya. Laki-laki pujaan yang kutemui saat aku pertama kali melamar kerja. Dia salah satu pegawai di kantor perusahaan tempatku bekerja. Berawal dari perkenalan saat aku mencari info tentang prosedur-prosedur melamar kerja, akhirnya lama-lama kita menjadi semakin dekat. Selain menjadi rekan kerja, kita menjalin hubungan tanpa sepengetahuan ibu. Laki-laki yang pernah mengantarku pulang waktu itu juga dia. Dan foto yang itu ibu temukan juga foto dia. Kedewasaan Mas Hari membuat aku kagum dan semakin menyukainya. Saat aku menceritakan tentang ibu yang selalu mengkhawatirkanku, dia mau mengerti. Hubunganku dengannya juga berbeda dengan hubungan sepasang kekasih pada umumnya. Tak ada istilah jalan berdua. Kami membiarkan hubungan kami mengalir apa adanya.
"Mas akan menemui orang tuamu kalau Mas sudah siap, Wi." Hanya itu kata-kata yang masih tetap terngiang di benakku setiap waktu. Semuanya sudah kuhancurkan sendiri. Aku sudah memintanya melupakanku. Alasannya karena ibu. Ya, aku tidak ingin memberikan harapan yang tidak pasti padanya. Sedangkan aku sendiri masih hidup dalam genggaman ibu, dalam aturan ibu.
"Dewi," panggil ibu saat aku baru pulang kerja. Tak seperti biasanya, hari ini ibu tampak ceria. Aku pun tersenyum melihatnya.
"Ia Bu, kenapa?" tanyaku. Entah kenapa kebekuanku mendadak mencair saat melihat rona senyum ibu yang terlihat begitu tulus. Ah, memang sebaiknya seperti ini. Tak baik aku mendiamkan ibu kandungku sendiri, ucapku dalam hati.
"Dewi, tadi ada yang datang," ucap ibu masih dengan senyum manisnya.
"Siapa Bu?" tanyaku penasaran. Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku tapi malah memelukku.
"Maafkan ibu ya, Nak, ibu tidak seharusnya terlalu mengekangmu," ucap ibu mengelus rambutku.
"Tadi ada yang datang melamarmu, Nak," lanjut ibu.
Aku kaget dan langsung melepaskan pelukan ibu. Kulihat rona wajah ibu masih sama, masih dibalut senyum manisnya.
"Siapa Bu?" tanyaku penasaran menatap lekat mata ibu.
"Hari, Nak. Ibu terima."
Aku menepuk pipiku berulang kali. Ah, apa aku mimpi? Apa yang ibu katakan tadi? Ini nyata, saat ini ibu di hadapanku, menggenggam tanganku.