Mohon tunggu...
Anisa Rahmasari
Anisa Rahmasari Mohon Tunggu... Penerjemah - Penikmat hal klise dan sederhana

Menikmati waktu senggang dengan bermimpi dan menonton serial televisi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari "Manipulasi dalam Relasi"

11 Februari 2021   13:10 Diperbarui: 15 Februari 2021   19:05 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Photo by Ava Sol on Unsplash

Di tengah sesi, saya sudah takjub pada banyak pihak yang memiliki upaya, pemikiran, dan kepedulian untuk menangani isu ini. Ketika banyak lembaga pendidikan antipati dan ogah-ogahan dalam mengadvokasi isu pelecehan seksual karena takut mencemarkan nama baik mereka, saya terperangah menemukan gerakan-gerakan tanggap ini sudah dipupuk. Saya jadi menantikan, loh, kapan kampus saya mengikutsertakan gerakan yang sama?

2. Sesuatu yang Mereka Sebut Trauma Bonding
Trauma bonding adalah salah satu pembahasan lain yang menarik perhatian saya di sini. Jadi, dalam sebuah relasi manipulatif, trauma bonding adalah lingkaran psikologis yang membuat korban sulit keluar dari hubungan destruktif itu.

Dari pemaparan Ibu Ika sebagai psikolog klinis dan Mbak Hannah Al Rashid sebagai salah satu penyintas hubungan manipulatif, saya menyimpulkan kalau trauma bonding adalah sebuah siklus di mana korban membangun keterikan tertentu dengan abuser (pelaku kekerasan) agar bisa survive. Maka dari itu korban sulit keluar. Dia terjebak dalam lingkaran yang bahkan dia sendiri tak sadar sedang mengekangnya.

Secara psikologis, seorang korban akan menggantungkan diri pada hal baik yang telah diberikan abuser-nya agar dia survive, dan hal ini biasa terjadi setelah adanya tindakan merugikan yang dilakukan pelaku (Insiden).

Setelah insiden terjadi, pelaku dan korban akan menenang, rekosiliansi, dan pelaku cenderung akan memperlakukan korban dengan rasa sayang dan perhatian (Cinta). Imbasnya, timbul harapan dalam diri korban yang sedang tertekan, bahwa si abuser mungkin akan berubah, atau dia akan memperlakukan si korban dengan baik dan penuh cinta lagi (Harapan). 

Jika fase ini sudah terlewati dan tanda-tanda tindakan manipulasi dan kekerasan terlihat lagi di kemudian hari (Tensi), korban cenderung kembali kepada pemikiran di mana jika ia bisa melewati fase mengerikan ini (Insiden), ia akan memperoleh cinta dan kasih sayang lagi dari fase sebelumnya dan berakhir survive.

Pada akhrinya, terbentuklah  lingkaran Tensi → Insiden  → Cinta → Harapan.

Kompleksitas dari trauma bonding membuat korban sulit mengidentifikasi emosinya sendiri dan berakhir terus terjebak dalam lingkaran itu, sehingga ia sulit lepas dari hubungan manipulatif-abusif. 

Hal lain yang membuat korban sulit keluar dari hubungan ini adalah karena adanya ketergantungan yang dikondisikan. Dalam hubungan romansa atau domestik, hal ini bisa dikenali seperti seperti satu pihak  yang terus memberikan harapan komitmen (janji akan dinikahi), ketergantungan finansial, atau karena memiliki anak.

Bantuan dari konselor atau terapis adalah hal yang harus diterima jika seseorang sudah sulit keluar dari hubungan semacam ini.

3. Beragam Pelaku dalam Hubungan Manipulatif - Abusif
Dari data dan laporan yang dihimpun HopeHelps UI, pelaku pelecehan seksual 38% datang dari teman korban sendiri, dan 10% dari pacar mereka. Dari sini saya semakin sadar bahwa benar; rasa sakit lebih mudah datang dari orang terdekat. Saya sangat menyayangkan dan semakin bertanya-tanya kenapa manusia mudah sekali mencelakai sesamanya yang sedekat nadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun