Mohon tunggu...
maisyarahanisa
maisyarahanisa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi | Pembelajar Amatir bertransformasi menjadi Mahir

www.aanimasy.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Risalah Mimpi

11 Mei 2020   13:15 Diperbarui: 11 Mei 2020   13:19 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak mampu membendung rasa duka dan iba yang terus melekat dalam diri.
Apalah aku? Hanya seseorang yang mampu merusak kehidupan orang lain. Hidup
sebatang kara, hanya semut-semut yang bergerombolan di sudut ruangan tua ini yang
setia menemaniku. Andai mereka mampu berbicara, ingin sekali rasanya kucurahkan
semua keluh dan kesahku kepada semut-semut bisu di sudut ruangan ini.  


 Mentari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat. Langit menggelap. Hanya
lentera tua yang menyinari ruangan sempit nan kumuh ini. Tak kuasa menahan
dinginnya angin yang menembus hingga menyusup perlahan ke relung-relung jiwa,
membuatku terus bergulung dengan selembar kain tipis sebagai penghangat tubuh.  


 Aku seorang pemuda berusia 23 tahun, hidup seorang diri dalam gubuk tua
beralas koran dan kardus bekas. Sering terlintas dalam benakku, betapa teganya kedua
orangtuaku menelantarkan anaknya di sini. Tindakan mereka membuat harapan dan
cita-citaku terhenti di sini karena mereka.  


***


 Pagi nan cerah diiringi lantunan suara ayam yang saling bersahutan, membuatku
tersadar dari alam bawa sadar. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku, lalu
beranjak menuju belakang gubuk lusuh itu, tempat aku membersihkan tubuhku.
Memang, sebelum hidup sebatang kara layaknya seorang gembel ini, aku hanya tinggal
menyelupkan tubuhku ke dalam bathub yang telah diisi oleh air hangat jika hendak
mandi. Memang, sekarang tak seindah dahulu.  


 Tepat pukul 6.30, aku bersiap-siap dengan profesi yang telah kugeluti hampir 4
tahun. Dengan kaus yang sebagian jahitannya sudah lepas, celana pendek, serta topi
yang menutupi kepala, terlihat begitu tampak rapi. Aku mulai melangkahkan kakiku
menuju tempat aku bekerja. Tempat yang begitu ramai dikunjung oleh khalayak. Ya,
sebuah pasar yang sangat ramai pengunjung, memudahkanku untuk melaksanakan
tugasku sebagai seorang pencopet. Walau terkadang perlu digebuk hingga babak belur,
yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk kebutuhanku sehari-hari, daripada aku
mati kelaparan.


 Hiruk pikuk membuatku tak sesemangat biasanya. Entah kenapa, tubuhku
melemas seketika. Kurebahkan tubuhku di atas meja dalam sebuah kios lusuh di sudut
pasar. Perlahan aku pejamkan kedua mataku seolah tak menghiraukan keadaan sekitar.  


***


 Tubuhku begitu lelah dan lemas tak berdaya. Kepalaku sakit dan begitu berat
ketika kugerakkan. Suasana begitu sunyi dan sepi. Kelam yang mencekam perasaan
membuat bulu romaku berdiri. Aku tidak tahu berada di mana. Aku juga tidak ingat apa
yang terakhir kali kulakukan. Tiba-tiba, dari sisi kananku, tertangkap oleh mataku
secercah cahaya. Aku coba bangkit dari pembaringan lalu berusaha untuk berjalan
menuju secercah cahaya itu walau dengan perlahan. Terdengar sayup-sayup olehku
suara teriakan orang, dan ternyata...


 “Astaga! Apa ini?” Tanya batinku. Mataku terbelalak melihat orang-orang
sedang asyik bermain judi disertai sebotol tuak di setiap sisi mereka.  
 Kehadiranku mengalihkan perhatian mereka tertuju padaku. Mereka kenal aku
dan aku tak ingat siapa mereka. Mereka mengajakku untuk bergabung kepada mereka.
Namun, aku hanya menggelengkan kepala sambil berjalan menjauhi kios lusuh itu.
Tatapan mereka begitu tajam melihat tingkahku yang mungkin aneh di mata mereka.
Karena kepalaku begitu sakit bagai akan pecah, aku pun tak memedulikan mereka.  
 Aku tak tahu harus ke mana. Aku tak ingat apa-apa, termasuk tempat tinggalku.
Aku berjalan tanpa arah dan tujuan. Namun, samar-samar, aku mendengar suara. Entah
dari mana asalnya, kucoba telusuri suara yang membuat langkahku tak henti
menelusurinya. Suara yang kumaksud semakin jelas, makin cepat langkahku dibuatnya.
Dari kejauhan, tampak sebuah bangunan yang tidak begitu megah namun diisi oleh para
jamaah. Aku mendekati bangunan itu dan duduk di selasarnya.


 “Ooh..Sakitnya.. ” Ucapku lirih dengan memegang kepalaku.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun