Jakarta, ibu kota negara, tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan industri, tetapi juga tempat berkumpulnya berbagai kelompok etnis dan budaya. Budaya Betawi Encim, yang merupakan hasil akulturasi antara etnis Tionghoa dan peradaban Betawi, merupakan salah satu budaya yang paling khas dan jarang dipelajari. Budaya ini telah berkembang dan tumbuh subur sejak masa kolonial Belanda, dan telah menjadi salah satu pusat kosmopolitan Jakarta. Budaya ini perlahan menghilang karena industrialisasi yang cepat, tetapi telah meninggalkan jejak sejarah yang menarik untuk diselidiki.Â
Istilah "Encim" berasal dari kata Hokkien "em-cim," yang berarti "kakak perempuan" atau wanita terhormat. Di Jakarta atau Batavia, kata ini dulunya merupakan sapaan umum bagi wanita keturunan Tionghoa yang tinggal bersama orang Betawi. Encim lebih dari sekadar julukan; ia mewakili identitas budaya yang khas—wanita yang menghargai tradisi Tionghoa sambil mematuhi norma Betawi, sehingga menghasilkan masyarakat campuran yang indah. Perempuan Betawi melambangkan lebih dari sekadar identitas etnis mereka. Mereka mewakili penggabungan dua dunia: tradisi kuat dari leluhur Tionghoa mereka dan norma-norma egaliter dan terbuka masyarakat Betawi. Para perempuan ini memiliki tanggung jawab besar dalam kehidupan keluarga dan sosial, termasuk menyiapkan makanan Peranakan, mengelola tugas-tugas rumah tangga, dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan etika komunal. Budaya mereka terwujud dalam kehidupan sehari-hari, namun berakar pada citacita historis.
Kostum Betawi Encim merupakan salah satu aspek yang paling menonjol. Kebaya Encim merupakan tanda keanggunan dan keanggunan di kalangan wanita Peranakan. Kebaya ini, yang terbuat dari kain halus seperti voile atau katun halus, dihiasi dengan sulaman bunga yang cerah dan desain sulaman tangan yang indah. Jika dipadukan dengan sarung batik pesisir tradisional, kebaya Encim memancarkan cita rasa yang canggih dan estetika yang luar biasa. Tidak mengherankan, kebaya ini sekarang umum dikenakan selama acara budaya dan ritual adat sebagai tanda keragaman Jakarta. Riasan dan aksesori juga merupakan aspek penting dari budaya Encim. Jepit rambut, bros emas, kalung mutiara, dan syal panjang melengkapi penampilan mereka. Dalam budaya Encim, merawat diri sendiri dan berpakaian rapi bukan hanya masalah estetika, tetapi juga tanda penghormatan terhadap orang lain dan komponen etika sosial. Wanita Encim tampak anggun dan tenang dalam foto-foto kuno Batavia, menjadi simbol kecantikan kolonial yang tertanam kuat dalam ingatan kolektif masyarakat Jakarta. Suku Betawi Encim sangat menghargai keterampilan memasak. Laksa Betawi, acar, soto tangkar, dan kue basah seperti kue rangi dan kue ku adalah contoh asli perpaduan budaya Tionghoa dan Betawi. Suku Encim terkenal dengan kehebatan kuliner mereka, dengan resep yang diwariskan dari generasi ke generasi. Makanan lebih dari sekadar santapan; makanan adalah metode untuk mengekspresikan cinta, tradisi, dan sejarah budaya.Â
Perempuan Encim terkenal karena kontribusi ekonomi mereka di luar rumah. Banyak dari mereka yang aktif dalam kegiatan komersial seperti berdagang di pasar, warung makan, dan toko kerajinan. Secara historis, banyak perempuan Encim yang menjadi tulang punggung keluarga, terutama saat suami memiliki pekerjaan rendahan atau sedang menganggur. Kegigihan dan kerja keras Encim menjadikannya panutan bagi perempuan tangguh di masyarakat kolonial dan pascakemerdekaan. Namun, perjalanan sejarah Encim Betawi tidak selalu mulus. Pada masa Orde Baru, asimilasi paksa dan sentimen anti-Tionghoa menyebabkan banyak keluarga Peranakan menyembunyikan identitas budaya mereka. Tradisi Encim pun terabaikan. Banyak wanita muda keturunan Tionghoa meninggalkan pakaian dan praktik adat demi tren modern. Akibatnya, budaya Encim hanya bertahan di beberapa tempat, terutama Glodok dan Tambora.Â
Meskipun budaya Betawi Encim mulai terabaikan, namun peninggalannya masih dapat dilihat di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Petak Sembilan merupakan lokasi penting yang masih dapat ditemukan rumah-rumah bersejarah, toko obat tradisional, dan penjahit kebaya Encim, yang melestarikan warisan budaya Peranakan Sino-Betawi. Kawasan ini berfungsi sebagai "museum hidup" yang menghidupkan warisan budaya Encim bagi para pengunjung. Namun, pembangunan di Jakarta telah menghadirkan kesulitan besar bagi kelangsungan budaya tersebut. Banyak kaum muda Peranakan saat ini lebih tertarik pada budaya global daripada adat istiadat leluhur mereka. Tanpa pelestarian yang ketat, budaya Encim menghadapi kepunahan dan dilupakan, digantikan oleh gaya hidup modern yang serba cepat dan impulsif.Â
Beberapa komunitas budaya, serta Pemerintah Daerah DKI Jakarta, telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan monumen tersebut. Festival budaya, pameran Kebaya Encim, dan dimasukkannya aspek budaya Encim ke dalam daftar warisan budaya tak benda merupakan langkah penting untuk melestarikan warisan ini. Beberapa ikon budaya, termasuk mendiang Mpok Nori dan tokoh budaya Peranakan, turut berkontribusi dalam pengenalan dan revitalisasi Encim dalam cerita rakyat dan seni pertunjukan. Budaya Encim melambangkan toleransi dan tingkat akulturasi yang tinggi di Jakarta. Mereka melambangkan wanita-wanita tangguh yang mendukung keberagaman dan merupakan komponen integral dari karakter kota. Mempertahankan budaya Encim tidak hanya berarti mempertahankan kelompok etnis, tetapi juga menjaga mosaik budaya Indonesia yang penting dan relevan. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI