Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Hijab Alissa, Fikih, dan Hak Prerogatif Wanita

24 Januari 2020   06:15 Diperbarui: 24 Januari 2020   14:06 5803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alissa Wahid |Sumber: Kompas.com/Ambaranie Nadia

Hijab lagi, lagi-lagi hijab yang diperdebatkan, dipakai alat untuk menyudutkan seseorang. Hingga menyemaikan masalah, bingkai perbedaan menimbulkan persoalan. 

Dan karena yang sedang diserang adalah anak dari guru bangsa, Gus Dur, maka persoalan ini jadi viral. Banyak orang melihat, ikut terlibat, berkomentar, unjuk pendapat, merasa paling benar. 

Mereka yang pro hijab dan kontra hijab berseteru saling unjuk alibi. Dalil dan dalih menjadi senjata, saya rasakan tak lagi dalam nafas amar makruf nahi mungkar, mengajak pada kebaikan mencegah keburukan. Namun, ada bau amarah dalam ujaran.

Harusnya itu semua disampaikan dengan santun penuh kelembutan, bil khikmah wal mauidhotul khasanah. Rasulullah saw telah mencontohkan itu. 

Tidak ada emosi atau amarah ketika beliau menyampaikan sesuatu dan orang yang diajaknya tidak menanggapi, bahkan memusuhi, melempar dengan kotoran. Mendoakan mereka yang memusuhi.

Persis seperti yang disarankan Gus Mus, Mustofa Bisri dalam cuitan Twitter menanggapi cuitan Alissa Wahid kemarin, 23/01/2019, dia sarankan pada Alissa untuk mendoakan saja.

kronologi.id
kronologi.id
"Ya tentu saja sama, Lis, wong sakgotrah (karena sedarah). Untuk yang seperti mereka itu, ucapkan saja: 'Salanma'," tulis Gus Mus untuk Alissa Wahid, putri pertama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diserang netizen. 

Dalam pandangannya, warganet menggunakan narasi sama untuk menyudutkan ibunya, Sinta Nuriyah dan keluarga Gus Dur.

"Menarik, pagi ini mengamati mention beruntun soal ibu dengan narasi yang sama. 'Jangan sombong/pamer soal pendidikan & keturunan', 'Keluarga nabi2 juga ada yang sesat, apalagi cuma anak/keluarga Gus Dur'," cuitnya seperti dikutip Suara.com, Kamis (23/1/2020).

Ah, terheran saya, kenapa persoalan hijab jadi melebar sampai ke akar keturunan? Bukankah tiap orang akan bertanggung jawab terhadap perilakunya sendiri? No bodies perfect, tidak ada manusia sempurna.

Hanya satu manusia yang maksum, terjaga dari noktah dosa, Muhammad saw nabi penutup akhir zaman. Dia akan langsung mendapat teguran bila berbuat kesalahan walau sedikit.

Selebihnya tidak ada jaminan manusia bersih dari kesalahan. Ancaman setan untuk selalu membelokkan jalan lurus yang sedang diupayakan manusia selalu siap menghadang.

Indonesia, di tempat ini kita hidup, menghirup udara yang sama, menikmati hujan, bermandi cahaya matahari yang sama pula, membaui keringat penduduk negeri ini dalam satu majelis tanpa sekat jarak atau halangan. Tsah, itu kita alami setiap hari.

Mau tidak mau, suka tidak suka kita hidup dalam heterogenitas. Hal-hal yang berbeda menjadi kawan,tidak bisa kita menolak kehadiran.

Harusnya itu memperkaya wawasan, menambah pengetahuan tentang hal-hal yang tidak sama akan menjadikan kita lebih arif memandang sesuatu, dewasa memutuskan pengambilan sikap untuk tidak terjebak pada perselisihan yang ujungnya terpecah belah, bertengkar.

Apapun pilihan penampilan, itu adalah tanggung jawab pribadi manusia terhadap Tuhannya. Bukan persoalan berbangsa dan bernegara.

Baik yang merasa hijab bukan kewajiban maupun yang meyakini hijab adalah bagian dari kewajiban melaksanakan syariat juga mereka yang memilih bercadar sebagai pakaian utama semua bertanggung jawab secara personal kepada Rabbnya kelak di hari penghitungan.

Tidak ada jaminan pula siapa lebih baik dari siapa, karena kita tidak tahu amal apa yang akan diterima oleh Rabb kita, Allah ta 'ala.

Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan Sekretaris Jenderal Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf saat ia ditanya wartawan perihal pernyataan istri mendiang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sinta Nuriyah mengenai persoalan pemakaian jilbab yang kontroversial.

Sebagaimana dilansir Suara Jogja, Cholil menjelaskan, perihal jilbab merupakan sebuah fikih dalam agama Islam. Fikih merupakan turunan dari syariat.

Sekjen Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf saat ditemui di Ballroom Hotel Hyatt, Kamis (23/1/2020). Sumber: Suara Jogja/Uli Febriarni
Sekjen Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf saat ditemui di Ballroom Hotel Hyatt, Kamis (23/1/2020). Sumber: Suara Jogja/Uli Febriarni
"Fikih ini bisa macam-macam pendapat. Ada yang bilang jilbab wajib, jilbab itu enggak wajib. Nah dari sisi agama, ini aspirasi nilai saja, ndak apa [berbeda] silakan saja. Anggap wajib silakan, enggak silakan," tutur Cholil di Ballroom Hotel Hyatt, Kamis (23/1/2020).

Persoalan akan muncul kalau seseorang atau satu kelompok memaksakan pandangannya kepada orang lain, bahkan sampai memaksa. 

Ini tidak bisa, karena hukum yang harus dipatuhi dalam bernegara adalah adalah hukum positif, yang memang sudah ditetapkan oleh negara. 

Keinginan mengubah harus melalui jalur hukum pula.

"Nah kalau dia mentang-mentang punya pandangan fikih atas syariat yang berbeda, mau ngotot, itu ndak bisa. Apalagi untuk soal yang masih debatable," ujarnya menambahkan.

Pendapatnya bisa menjadi counter atas cuitan Felix Siauw pada Sabtu (18/1).

"Nggak mau berhijab ya silakan aja, tapi ngomong 'hijab itu nggak wajib bagi Muslimah', itu pernyataan yang maksa banget, udah maksiat, maksa lagi."

Adu pendapat tentang hijab itu menimbulkan suasana gerah di mana-mana. Terutama ketika sedang dalam sebuah perkumpulan yang diisi orang berbeda. Tidak sama performa maupun busana padahal satu agama.

Saya, sebagai bagian dari perempuan yang meyakini hijab dan pakaian longgar adalah wajib untuk menutup aurat, sering menjadi sasaran pertanyaan dalam hal ini. Juga sahabat saya yang banyak bercadar.

Tak jarang pandangan sinis dihantarkan, menyangka kami sedang membangun eksklusifitas. Padahal sungguh kami hanya sedang berupaya dalam proses memperbaiki diri, sebagai pribadi, menjaga fitnah, sebagaimana tuntunan yang kami pelajari.

Bahwa sebagian kecil dari kami terlibat tindak kekerasan, - terorisme, anarkhi- itu betul. Tetapi apakah mereka yang tidak bercadar atau tidak berhijab bebas dari kasus demikian? Tidak pula. Tengok penjara wanita, banyak diantara para pembunuh itu telanjang rambutnya.

Sekali lagi cara berpakaian adalah pilihan, jangan sangkut pautkan dengan persoalan-persoalan lain yang tidak relevan. Tidak berhijab dianggap salah, bercadar dianggap sesat, lalu menjadi satu alasan memunculkan persoalan besar dalam kehidupan berbangsa.

Ujungnya, bisa saja muncul "perang saudara" atas nama membela kebeneran absurd ini. Ironi, padahal harusnya bisa menjadi ladang dakwah yang menyejukkan hati.

Anis Hidayatie, doc. pri
Anis Hidayatie, doc. pri
Tentang ini pesan sahabat saya Ustadz Ahmad El Zainul Hamdi, bisa menjadi bahan renungan. 

Dia menuliskan pikirannya,"Kamu boleh menganggap bahwa mereka berdosa karena tak memakai jilbab atau bahkan cadar, tapi keyakinanmu itu hanya salah satu dari sekian tafsir tentang aurat perempuan. Kebenaran yang kamu yakini bukanlah satu-satunya kebenaran karena kamu bukan Tuhan sang pemilik kebenaran. Jika hatimu terluka karena dianggap sebagai teroris hanya karena kamu memakai cadar, sesakit itulah hati para perempuan yang tak berjilbab saat mereka dinista sebagai perempuan bejat hanya karena mereka tak menggunakan jilbab."

Anis Hidayatie| Dokumentasi pribadi
Anis Hidayatie| Dokumentasi pribadi
Tercenung saya mencermati untaian kata-katanya. Sesuatu yang tak pernah saya pikirkan. Bahwa merasa direndahkan yang lain bisa sesakit itu rasanya, menimbulkan efek tak nyaman dalam hubungan sosial. Jadi, mengapa tidak kita sudah saja perdebatan tentang hijab ini? 

Jangan lagi ada orang yang tersakiti gegara pilihan penampilan. Mengedepankan kehangatan, gandeng tangan dalam kebersamaan. Masih banyak persoalan besar bangsa yang harus kita pikirkan.

Untuk kepentingan umat, untuk kemaslahatan orang banyak. Berhijab atau tidak berhijab biar menjadi isu pribadi saja. Berhenti di ranah perseorangan, tidak melebar sampai menimbulkan perpecahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun