Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tanda Tangan Kerelaan

12 Februari 2019   10:41 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:39 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya, tak pernah setitik pun dalam bayangan saya harus membawa pulang kembali buah hati yang sedang nyantri. Sedang berburu ilmu di tempat yang saya dan almarhum suami sepakat memilih sebagai  lembaga pendidikan terbaik. Menurut maqam dan kemampuan kami sebagai jalan melanjutkan pendidikan putra bungsu saya. Tingkat SLTP di Pesantren  Al Amien Prenduan Sumenep Madura. 

Langkah saya mengambil keputusan berat dilatari banyak hal yang menggelisahkan. Bukan kualitas pendidikannya, namun lebih ke arah personal keadaan saya. Berpulangnya panggilan jiwa membuat saya harus mengambil keputusan banyak hal sendirian. Secara nahkoda rumah telah beralih kepemimpinan, otomatis saya pegang.

Diberi peninggalan 2 orang anak lelaki  yang masih dalam masa menuntut ilmu serta seorang emak mertua yang telah renta, membuat saya kadang tertatih menjalankan roda estafet kepemimpinan ini. Tak dipungkiri,  satu kaki sungguhlah berat. Meski saya terkesan hebat dan kuat.

Pembiayaan menjadi salah satu faktor harus angkat kakinya anak saya dari pesantren. Meskipun sebetulnya pihak pesantren siap menanggung biaya pendidikan anak saya dengan mencarikan orang tua asuh. Ketelanjuran mengajukan pinangan ke tempat lain membuat saya harus berderai derai mengajak pulang anak saya disamping alasan kesehatan.

Saya tahu di  pesantren itu dalam memperhatikan dan menangani santri sakit begitu baiknya. Namun, tetap saja rasa keibuan ini ingin selalu mendampingi. Ditambah keluhan dan rasa susah emak mertua yang terus mendorong saya menengok cucunya.

Jarak tempuh dan biaya sekali lagi menjadi hambatan untuk saya sekadar memberikan usapan. 7 jam perjalanan dari rumah saya, cukup menjadi pertimbangan. Sebagai orang yang pernah kehilangan, tak ingin saya membuat sedih emak mertua peninggalan suami. Untuk saya pribadi tak mengapa, tegar diri itu bisa. Tapi untuk neneknya? Hormat dan cinta untuk sang nenek membuat saya tak berkutik bila beliau susah sedih karena cucunya.

Di sisa hidupnya, saya ingin  bahagiakan bukan malah membebani dengan  macam-macam pikiran. Suami saya, anak tunggalnya telah berpulang, masih haruskah saya menambah kesedihan dengan keukeuh mempertahankan keinginan agar sang cucu jauh dari jangkauan?

Kemarin menjadi hari terberat dalam hidup saya selain hari di mana saya harus kehilangan belahan Jiwa. Sukma saya limbung, antara berpijak di bumi atau melayang di angkasa saya telah lupa. Derai tangis tak henti mengiringi angkat kaki dari bumi yang dimiliki para perindu ilmu ini. Serupa duka cita, seperti hilangnya separuh nyawa. 

Satu pelajaran yang bisa saya ambil dari rumitnya mengeluarkan anak saya adalah,  kerelaan, kemaafan, pergi dengan lambaian cinta,  dengan tangan terbuka kapan saja anak saya sedia kembali atau sekedar mampir suatu saat nanti.  Itu telah menjadi iringan indah pengantar anak saya pergi. Meski dengan sayatan rindu terpatri.

Memperoleh tanda tangan dari seluruh pembimbing hingga kiyai, adalah hal sulit yang harus anak saya lakukan. Bukan tentang coretannya, tetapi kesempatan bertemu, bertatap mata, mendapatkan siraman rohani itu yang menjadi pelajaran berharga. Satu persatu salaman pada teman, dengan harapan meluruhkan kesalahan. Salim sowan pada ustadz minta tanda tangan, ini bukan persoalan gampang, mengingat keberadaan para ustadz kadang tak ada. Tapi saya mafhum, untuk memperoleh keridhaan jalan memang harus diperjuangkan. Tanda Tangan Kerelaan dengan ujung terakhir harus mendapatkan izin dari Kyai.

Anak saya bukan santri bermasalah, berprestasi malah. Ada tawaran menangguhkan, tapi itupun tidak dengan paksaan. Adalah kehormatan bila anak saya digandoli. Dengan jumlah 8000-an  santri yang ada dan melepas satu saja tentu persoalan ringan. Tak akan berasa apa-apa kehilangan satu orang. Namun nguwong no uwong. Memanusiakan manusia itulah yang saya rasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun