Mohon tunggu...
Anggun SafitriSame
Anggun SafitriSame Mohon Tunggu... Novelis - Author of Lihat Aku Tuhan

Mencintai sastra, suka membaca buku, dan senang berkenalan dengan orang baru. Author of Lihat Aku Tuhan IG @anggunsafitri92 YouTube: Anggun Ihsan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dipeluk Angin

14 November 2019   11:14 Diperbarui: 14 November 2019   11:17 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DIPELUK ANGIN

Oleh Anggun Safitri

Aku ingin mati.
Saat ini tak ada lain yang kuinginkan selain mati.
Mengakhiri segala kesakitan ini.

Kali ini aku benar-benar lelah. Kupikir bertahan dengan sikap apatis-nya selama delapan tahun, akan membuatnya luluh dan mulai menyadari bahwa hubungan ini sedang tak baik-baik saja. Bahwa aku adalah makhluk berperasaan yang butuh pengertian dan perhatiannya. Nyatanya nihil.

Entah sejak kapan bermula, aku menduga hubungan kami memang tak sehat sejak awal dibangun. Bayangkan saja, aku harus membangun rumah tangga di usia yang sangat belia. Tak ada garis ramalan sedikitpun dalam benakku bahwa nantinya diriku hanya akan menjadi pajangan atau boneka yang hanya dibutuhkan saat ingin bermain saja.

Sejak kukatakan "Ya" saat ia mengutarakan keinginan untuk membangun peradaban bersamaku, disaksikan teman-temannya yang pun sudah menjadi teman-temanku, ditemani semilir angin lembut dan cahaya bulan purnama yang seolah-olah ikut bergembira mendengar jawabanku yang terdengar kaku dan malu-malu. Sudah kuputuskan untuk menyerahkan diri dan hati ini untuknya.

Kupikir menikah itu sederhana saja, cukup aku mencintainya dan menjaga kesetiaan padanya. Selesai. Realitas menghadirkan yang lain. Semua tak semudah bayangan.

Terlalu banyak permasalahan yang harusnya dibicarakan berdua. Soal ia yang tak pernah berucap sayang. Soal aku yang menginginkan buah hati. Soal aku yang terkurung. Soal ia yang tak peduli. Soal hatiku yang hampir mati. Soal kepalsuan yang kami tampilkan. Soal aktivitas monoton yang membosankan, dan banyak hal lain. Semuanya kutelan sendiri.

Banyak yang berkecamuk dalam kepalaku. Kadang aku berpikir ingin bercerai, sepertinya itu adalah jalan terakhir. Tetapi keputusan itu selalu terganggu oleh bayangan keluargaku dan keluarganya yang muncul bergantian dalam satu bingkai di kepalaku. Bahkan kicauan orang-orang tentang aku yang tidak tahu terima kasih, karena telah menyakiti suami yang baik pun nimbrung tanpa permisi. Pun demikian dengan stigma negatif tentang seorang janda bergulung-gulung bersama pikiran yang lain. Benang kusut ini ingin kuhilangkan semuanya, aku tak sanggup mengurainya.

Hari ini sama seperti biasanya, ia duduk di kamar sambil menggeser-geser beranda akun media sosialnya. Sebulan ini aku sudah mulai mencoba tak peduli dengannya, mengatup rapat bibirku, hanya bicara saat diperlukan saja. Aku yang selama ini selalu keluar rumah bersamanya, seingatku hampir tak pernah aku bepergian sendirian sejak menikah.

Kali ini aku benar-benar ingin mengakhirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun