Diplomasi ekonomi adalah instrumen kebijakan luar negeri yang menggunakan alat seperti perdagangan, investasi, dan kerja sama pembangunan untuk mendukung kepentingan nasional. Di Indonesia, diplomasi ekonomi dijalankan tidak hanya oleh Kementerian Luar Negeri, tetapi juga melibatkan kementerian teknis, BUMN, pelaku usaha, dan lembaga keuangan. Menurut Bayne dan Woolcock (2011), sinergi antar aktor domestik sangat penting agar diplomasi luar negeri sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi nasional.
Dalam menghadapi meningkatnya proteksionisme dan rivalitas dagang global seperti antara Amerika Serikat dan China, Indonesia memanfaatkan diplomasi ekonomi untuk memperluas akses pasar, menjaga kestabilan ekonomi makro, dan meningkatkan daya saing nasional. Studi kasus dalam artikel ini menunjukkan bagaimana strategi diversifikasi pasar, integrasi regional, dan kerja sama lintas sektor memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global. Dengan merancang kebijakan yang adaptif, diversifikasi pasar, serta menjalin kemitraan ekonomi baru secara bilateral dan multilateral, Indonesia menunjukkan peran aktifnya sebagai aktor diplomatik yang tangguh dan visioner di tengah era ketidakpastian global.
Ketegangan dagang antara AS dan China menjadi contoh nyata pergeseran paradigma dari kerja sama multilateral menuju praktik perdagangan yang lebih transaksional dan proteksionis. Langkah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump yang menerapkan tarif secara sepihak terhadap China, yang kemudian dibalas dengan kebijakan serupa oleh China, menciptakan gangguan terhadap rantai pasok global, peningkatan harga, serta fluktuasi pasar keuangan internasional. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, situasi ini menciptakan risiko terhadap kinerja ekspor, arus investasi asing, serta stabilitas nilai tukar. Sektor industri strategis seperti elektronik, otomotif, dan pertanian ikut terdampak, terutama karena ketergantungan terhadap bahan baku impor dan permintaan dari pasar eksternal.
Menghadapi dinamika proteksionisme global serta meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China, Indonesia pada tahun 2025 mengadopsi strategi diplomasi ekonomi yang bersifat adaptif dan progresif. Salah satu langkah utama yang diambil adalah diversifikasi pasar ekspor guna mengurangi ketergantungan terhadap dua kekuatan ekonomi utama tersebut. Pemerintah Indonesia memperkuat kerja sama ekonomi dengan berbagai negara di kawasan non-tradisional seperti Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Upaya ini selaras dengan target pertumbuhan ekspor sebesar 7,1% pada tahun 2025, serta pemanfaatan kerangka kerja sama regional dan multilateral seperti ASEAN, RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), dan CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership) yang membuka akses lebih luas terhadap pasar dan peluang investasi bagi produk dalam negeri.
Di sisi lain, stabilisasi ekonomi makro juga menjadi prioritas, terutama melalui penguatan nilai tukar rupiah yang dijalankan oleh Bank Indonesia. Revisi regulasi mengenai devisa hasil ekspor turut dipersiapkan sebagai bagian dari upaya untuk mendukung penguatan industri nasional dan mendorong iklim investasi. Pemerintah juga menekankan pentingnya industrialisasi melalui program hilirisasi dan standardisasi produk guna meningkatkan daya saing serta nilai tambah ekonomi domestik.Â
Selanjutnya, Indonesia mengembangkan pendekatan diplomasi ekonomi yang cerdas dan fleksibel melalui strategi hedging antara AS dan China. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk tetap menjalin kerja sama strategis dengan China, khususnya dalam sektor infrastruktur dan soft power, tanpa mengabaikan hubungan penting dengan Amerika Serikat. Kebijakan ini mencerminkan upaya Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global serta memaksimalkan peluang dari pergeseran arsitektur ekonomi internasional. Pendekatan ini dapat diartikan sebagai strategi keseimbangan untuk menghindari ketergantungan pada salah satu kekuatan besar.
Sebagai negara utama di ASEAN, Indonesia memanfaatkan peran kepemimpinannya untuk memperkuat solidaritas kawasan menghadapi proteksionisme global. Melalui ASEAN Economic Community (AEC), Indonesia mendorong penghapusan hambatan non tarif, peningkatan konektivitas infrastruktur, dan penguatan ketahanan rantai pasok regional. Diplomasi ekonomi Indonesia di ASEAN tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan, inklusivitas, dan digitalisasi ekonomi. Dalam konteks ini, pendekatan regional menjadi alat penting untuk mempertahankan stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian geopolitik.
Diplomasi ekonomi kontemporer Indonesia diarahkan untuk mendukung prioritas pembangunan nasional, seperti hilirisasi industri, penguatan ekonomi digital, transisi energi, dan peningkatan nilai tambah ekspor. Salah satu wujud konkretnya adalah platform Indonesia Incorporated, yang mengintegrasikan peran Kementerian Luar Negeri, kementerian teknis, BUMN, dan pelaku usaha dalam satu kerangka kerja sama untuk mempromosikan daya saing nasional di pasar global. Melalui pendekatan ini, Indonesia tidak hanya fokus pada peningkatan ekspor dan investasi strategis, tetapi juga mendorong tata kelola ekonomi yang transparan, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Upaya ini sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan agenda global seperti G20, dengan tujuan membangun fondasi ekonomi yang kuat, inklusif, dan siap bersaing di tengah ketidakpastian global.
Salah satu implementasi konkret dari strategi ini adalah pendirian kantor Indonesia Incorporated di Hong Kong, yang berfungsi sebagai pusat penetrasi pasar internasional di kawasan Asia Timur dan sekitarnya. Kantor ini bertujuan mendukung ekspansi bisnis global pelaku usaha Indonesia dan memperkuat posisi ekonomi nasional di tengah persaingan global yang kian ketat.Â
Diplomasi ekonomi kontemporer Indonesia bergerak secara dinamis di tengah ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan perdagangan sepihak dan proteksionisme negara besar. Ketika multilateralisme melemah, Indonesia justru memperkuat komitmen terhadap kerja sama regional dan multilateral sebagai strategi jangka panjang yang lebih stabil dan inklusif. Dalam era di mana ekonomi digunakan sebagai alat kekuasaan, diplomasi ekonomi Indonesia dituntut untuk lebih fleksibel, proaktif, dan terukur demi memastikan bahwa kepentingan nasional tetap terjaga dalam percaturan global yang terus berubah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI