Kalau kita bicara soal ekonomi syariah di Indonesia, rasanya kurang lengkap kalau tidak menyebut akuntansi syariah. Konsep ini bukan cuma soal hitung-hitungan laporan keuangan, tapi juga soal nilai, keadilan, dan keberkahan. Sayangnya, implementasinya di lapangan masih penuh tantangan. Nah, di artikel ini, saya ingin mengulas kenapa akuntansi syariah belum maksimal diterapkan dan apa solusi konkretnya.
Akad syariah adalah kesepakatan atau kontrak antara dua pihak yang terikat dengan prinsip-prinsip Islam. Contohnya seperti murabahah (jual beli dengan margin), ijarah (sewa), mudharabah (bagi hasil antara pemilik modal dan pengelola), dan musyarakah (kerja sama usaha). Akad-akad ini bukan sekadar kesepakatan lisan, tapi harus tercermin juga dalam pencatatan keuangan yang adil dan transparan.
Banyak pelaku UMKM sudah menerima pembiayaan dari lembaga syariah, tapi belum bisa menyusun laporan keuangan sesuai prinsip syariah. Bahkan akuntan atau auditor yang mengerti PSAK Syariah pun masih jarang. Jadinya, laporan keuangan syariah hanya 'copy-paste' dari model konvensional. Padahal bisnis syariah seharusnya punya cara pencatatan yang khas---sesuai akad dan jauh dari riba.
DSN-MUI sudah menetapkan banyak fatwa sebagai pedoman, seperti Fatwa Murabahah No. 04/2000 dan Fatwa Mudharabah No. 07/2000. Fatwa-fatwa ini seharusnya jadi pegangan dalam menyusun laporan keuangan syariah. Kalau bisnis syariah tidak mengikuti fatwa, maka nilai keberkahannya bisa dipertanyakan.
IAI sudah mengeluarkan PSAK Syariah 101--106 dan ada juga standar internasional dari AAOIFI. Tapi di lapangan, pelaku usaha masih kesulitan memahami dan menerapkannya. Bisa jadi karena kurang sosialisasi atau memang belum dianggap penting. Padahal kalau diterapkan dengan benar, standar ini bisa jadi alat kontrol sekaligus sarana edukasi.
Tanpa laporan yang sesuai syariah, lembaga keuangan sulit menilai kinerja usaha. Ini bisa memunculkan risiko seperti penyalahgunaan dana, ketidaksesuaian akad, atau bahkan praktik riba terselubung. Transparansi dan keadilan akan sulit tercapai kalau laporan keuangan hanya formalitas.
1. Lembaga keuangan syariah harus menyediakan template laporan sederhana Â
2. Pelatihan akuntansi syariah bagi UMKM wajib digalakkan Â
3. Pemerintah dan kampus bisa ambil peran dalam edukasi dan pendampingan Â
4. Perlu kolaborasi antara ulama, akuntan, dan praktisi usaha Â
5. Sederhanakan standar agar lebih ramah UMKM
Akhir kata, akuntansi syariah bukan hanya soal laporan, tapi juga tentang niat dan tanggung jawab. Kalau kita ingin ekonomi syariah benar-benar berkembang, maka akuntansi syariah harus jadi budaya, bukan sekadar kewajiban.
Ditulis oleh: Â
Anggita Selia Sari Â
Magister Akuntansi Syariah -- Universitas Tazkia Bogor.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI